Mazhab merupakan istilah dalam bahasa Arab yang sangat populer dalam kajian keilmuan Islam, terutama dalam konteks furuiyah (cabang). Sebab, dalam segala aspek keagamaan sangat dibutuhkan keotentikan sebuah ajaran.
Namun, kesadaran terhadap urgensi bermazhab dalam sebagian kelompok tak sepaham justru menolaknya. Mereka selalu memberikan seruan dengan gerakan “pemurnian” ajaran agar dalam mempelajari agama tak perlu cenderung dan mengikuti suatu mazhab tertentu. Sebab, bagaimanapun juga pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak sebagaimana kebenaran al-Qur’an dan sunah shahihah.
Jadi, bagaimana sebenarnya posisi bermazhab dalam beragama? Berikut adalah wawancara Mohammad Iklil dari buletin Taiuyah Sidogiri dengan K.H. Abdullah Syamsul Arifin, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Arifin Jember.
Apakah bermazhab merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam?
Bermazhab merupakan kewajiban karena konsekuensi pada keterbatasan pengetahuan umumnya umat yang tidak bisa melakukan istinbatul-ahkam. Tidak ada satupun dalil bermazhab itu wajib min asli-syar’i. Maka dari itu, dalam Nahdhatul Ulama yang dianjurkan ialah dengan menerapkan sistem bermazhab proporsional (tâbi’), yakni sikap pertengahan antara taklid buta dan ijtihad membabi buta. Ijtihad membabi buta ada semangat melakukan ijtihad, tetapi tidak memiliki kecukupan modal dan pondasi dasar pemahaman yang kuat di dalam mengistinbat hukum dari dalil. Sementara taklid buta yang penting ikut tanpa mengetahui dalil dari yang diikuti. Jadi, bermazhab proporsional di tengah-tengah itu. Walaupun kita mengikuti terhadap imam mazhab yang di dalam nahdhatul ulama untuk bidang fikih dibatasi pada salah satu empat mazhab. Namun, kita juga tetap mengetahui, meneliti serta mengkaji baik aspek metodologis ataupun istidlal yang dilakukan oleh masing-masing mazhab dalam melahirkan pandangan-pandangan hukum. Sehingga dalam bahasa usul fikih itu harapannya kita tidak sekadar menjadi muqallid, tetapi juga muttabi’.
Mengapa kaum muslimin harus bermazhab?
Sebagai keniscayaan dari fenomena ijtihad dan taklid yang menjadi realitas keagamaan kaum muslimin sepanjang masa, adalah lahirnya tradisi bermadzhab. Mazhab sebenarnya terbentuk dari banyak persoalan yang menjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Menurut Ahlusunnah Waljamaah, dalam bidang fikih, mereka mengikuti satu dari mazhab yang empat yaitu mazhab yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, as-Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Dari sini lahir satu pertanyaan: “Apakah yang melandasi fikih Ahlusunah Waljamaah dalam bermazhab dengan mengikuti salah satu mazhab yang empat?” sebelum memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut, ada baiknya di sini dikemukakan terlebih dahulu tentang sejarah bermazhab dalam Islam dan urgensitas mengikuti salah satu mazhab yang empat, sehingga jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat disajikan lebih sistematis.
Jika demikian, bagaimana tentang sejarah bermazhab dalam Islam itu sendiri?
Menurut Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176/1762 M), muhaddits dan faqih bermazhab Hanafi dari India, pada abad pertama dan kedua hijriah, masyarakat belum secara keseluruhan melakukan taklid terhadap satu mazhab fikih tertentu. Abu Thalib al-Maki (w. 386 H/996 M) dalam Qutbul-Qulub mengatakan, “Kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan pendapat para ulama adalah hal baru dalam Islam. Mengikuti pendapat para ulama, berfatwa sesuai dengan mazhab seorang ulama tertentu, mengambil pendapatnya, menceritakannya dalam setiap persoalan yang dihadapi dan mempercayai mazhabnya bukan hal yang populer pada abad pertama dan kedua Hijriah.” Dalam hukum-hukum yang menjadi kesepakatan kaum muslimin dan para mujtahid, masyarakat pada waktu itu hanya mengikuti pemilik syariah.
Adapun terkait kewajiban sehari-hari seperti tata cara berwudu, mandi, hukum-hukum shalat, zakat dan lain-lain, mereka belajar kepada orang tua dan guru agama setempat secara turun temurun. Jika terjadi persoalan baru yang perlu penyelesaian hukum, mereka meminta fatwa kepada mufti yang mereka temui tanpa memandang mazhabnya secara khusus. Baru setelah abad kedua hijriah, tradisi bermazhab dengan mengikuti mazhab-mazhab yang dibangun oleh para mujtahid, tersebar luas di kalangan masyarakat muslim secara keseluruhan. Sedikit sekali pada waktu itu orang yang tidak bermazhab mengikuti madzhab mujtahid tertentu.
Pernyataan ad-Dahlawi di atas dapat diperkuat dengan memperhatikan bukti-bukti kesejarahan berikut ini:
(1) Para ulama ahli hadits yang menulis ilmu mushthalahul-Hadits, mengemukakan bahwa pada masa sahabat Nabi, yang mengeluarkan fatwa hanya sekitar dua ratus orang, bahkan ada yang mengatakan di bawah sepuluh orang. Ada yang mengatakan hanya enam orang. Apabila dari kalangan shahabat yang jumlahnya lebih dari seratus ribu orang, hanya dua ratus orang yang dapat mengeluarkan fatwa, apakah berarti mayoritas mereka tidak melakukan taklid? Jawaban dari pertanyaan ini menjadi bukti bahwa mayoritas sahabat Nabi bertaklid kepada para mujtahid masa itu.
(2) Para ulama sahabat dan tabiin ketika dimintai fatwa oleh masyarakat awam, mereka tidak menolak dan melarang mereka yang bertanya. Juga tidak memerintahkan mereka untuk menuntut ilmu agar mencapai derajat mujtahid. Ini persoalan aksioma dalam agama dan diketahui secara mutawatir, baik dari kalangan ulama maupun awam.
(3) Secara rasional kemampuan berijtihad itu membutuhkan suatu keahlian, yang tentunya sulit untuk dicapai kecuali oleh sebagian kecil dari kalangan ulama terkemuka saja. Sehingga apabila agama mewajibkan semua individu masyarakat agar mencapai derajat ijtihad, maka akan terjadi pembebanan suatu kewajiban yang tidak akan mampu mereka lakukan. Ini tidak dibenarkan serta tidak akan terjadi dalam agama, sesuai dengan ayat: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” QS. Al-Baqarah: 286.
Mohmmad Iklil | Annajahsidogiri.id