Ahlusunah wal Jamaah, atau yang sering disingkat Aswaja, merupakan sebuah konsep sebagai manhaj dalam pemikiran Islam. Secara etimologi, Ahlusunah wal Jamaah berarti golongan yang mengikuti sunah Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya.
Aswaja bukanlah sebuah ideologi baru dalam Islam, melainkan sebuah manhaj (konsep) yang bertujuan untuk menampung ajaran-ajaran Islam yang murni dari Nabi Muhammad ﷺ. Aswaja muncul sebagai respon terhadap berkembangnya pemikiran Mu’tazilah pada masa awal Islam.
Di sinilah, Imam al-Asy’ari memiliki peran besar dalam merumuskan Ahlusunah wal Jamaah, guna memastikan ajaran Islam tetap sesuai dengan sunah Nabi Muhammad ﷺ. Artikel ini akan mengkaji Aswaja sebagai landasan manhajul fikri dan implikasinya dalam membentuk pemahaman keislaman yang moderat dan inklusif.
Prinsip-Prinsip Aswaja sebagai Manhajul Fikri
Manhajul fikri Aswaja bertumpu pada tiga prinsip utama yang menjaga keseimbangan dalam pemahaman agama:
- Tawassuṭ(Moderat): Aswaja mendorong moderasi dalam beragama. Prinsip ini mengajarkan umat Islam untuk menghindari sikap ekstrem, baik dari sisi kanan maupun kiri, serta berlebihan dalam menjalankan agama, baik dalam bentuk liberalisme yang terlampau longgar atau radikalisasi yang berlebihan. Tawassuth menekankan keseimbangan dalam pemikiran, tidak terlalu kaku, namun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam, sebagaimana Allah ﷻ berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
“Dan demikian Kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (penilai) atas (perbuatan) manusia umumnya dan supaya Rasul menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.“ (QS. Al-Baqarah: 143)
Baca juga: Mengenal Karakter Tâwassuṭ Ahlusunah Wal Jamaah
- Tasamuh (Toleransi): Aswaja mendorong toleransi, yaitu penghormatan terhadap perbedaan pendapat dan keragaman pemahaman dalam masyarakat muslim. Hal ini mencakup penerimaan terhadap berbagai mazhab fiqih seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Tasamuh penting dalam menjaga persatuan umat dan mencegah konflik akibat perbedaan pandangan dalam masalah agama yang tidak prinsipil.
- Tawazun (Keseimbangan): Prinsip tawazun mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan. Dalam perspektif Aswaja, umat Islam didorong untuk menyeimbangkan antara kewajiban spiritual dan tanggung jawab sosial. Ini termasuk menjaga hubungan dengan Allah ﷻ (hablum minallah) serta hubungan dengan manusia (hablum minannas) secara proporsional, sebagaimana Allah ﷻ berfirman tentang tawazzun:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti yang jelas, dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (penimbang keadilan), agar manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ketiga prinsip ini mendorong pola pikir yang tidak hanya bertoleransi terhadap perbedaan, tetapi juga mampu menempatkan agama dalam konteks yang sesuai dengan zaman, kecuali jika hal itu bertentangan dengan syariat Islam secara jelas, maka dalam hal ini, Islam sangat tegas dalam menyikapinya.
Aswaja dalam Aspek Akidah dan Fikih
Sebagai manhajul fikri, Aswaja memiliki pengaruh yang signifikan dalam akidah dan fikih:
- Akidah: Dalam akidah, Aswaja berpegang teguh pada keyakinan yang merujuk pada aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua aliran ini menekankan pendekatan rasional dalam menjelaskan akidah Islam, namun tetap menghormati teks wahyu. Jika ada pertentangan antara wahyu dan akal, maka akal harus tunduk pada wahyu. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab as-Subki, Thabaqatus Syafi’iyyah Al-Kubra ([Darul Ihya`il Kutub Al-‘Arabiyah], juz III, halaman 365), Imam al-Asy’ari merupakan rujukan utama dalam akidah Islam.
- Fikih: Dalam fikih, Aswaja mengakui empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) sebagai panduan utama dalam memahami hukum-hukum Islam. Aswaja mendorong umat Islam untuk memahami mazhab dengan pendekatan yang fleksibel, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan umat. Sikap ini mencegah kekakuan dalam beragama dan memungkinkan umat Islam untuk beradaptasi dengan berbagai situasi yang ada. Menurut Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Ziyadah at-Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jamaah adalah:
أَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُونَ الْمُتَمَسِّكُونَ بِسُنَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِينَ وَهُمْ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ قَالُوا وَقَدْ اجْتَمَعَتِ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبِ أَرْبَعَةٍ الْحَنَفِيُّونَ وَالشَّافِعِيُّونَ وَالْمَالِكِيُّونَ وَالْحَنْبَلِيُّونَ
“Adapun Ahlusunah wal Jamaah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada sunah Nabi dan sunah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah golongan yang selamat. Ulama mengatakan, saat ini kelompok tersebut terhimpun dalam empat mazhab: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”
Baca juga: Akidah dalam Dinamika: Memahami Perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
Kesimpulan
Sebagai manhajul fikri dalam Islam, Aswaja menawarkan pendekatan yang moderat, toleran, dan seimbang dalam beragama. Dengan prinsip tawassuth, tasamuh, dan tawazun, Aswaja mengarahkan umat Islam pada pola pikir yang terbuka dan fleksibel, namun tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran pokok Islam seperti al-Qur’an dan hadis. Dalam menghadapi tantangan zaman, manhaj Aswaja berperan penting dalam menjaga keutuhan umat dan merespons isu-isu kontemporer secara bijaksana.
Lukman Hakim | Annajahsidogiri.id