Dalam pembelajaran ilmu tauhid, sebelum membahas sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat para rasul, ada beberapa pembahasan yang perlu dikaji dan didalami terlebih dahulu sebagai konsep dasar sekaligus pijakan dalam memahami pembahasan selanjutnya. Pembahasan yang perlu dikaji adalah hukum ‘aqlī, hukum syar‘ī dan hukum ‘ādī. Nah, inilah yang akan menjadi fokus pembahasan kita dalam tulisan kali ini.
Jika kita merujuk pada kitab-kitab tauhid klasik, pembahasan hukum ‘aqlī lebih ditekankan dari pada dua hukum lainnya; hukum syar‘ī dan hukum ‘ādī. Sebab, kebanyakan sifat-sifat yang dibahas dalam ilmu tauhid berdalilkan hukum ‘aqlī, sebagaimana yang tertera dalam kitab ad-Dasῡqī Syarḥu Ummil-Barāhīn.
Mari kita mengenal definisi hukum ‘aqlī terlebih dahulu. Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi menjelaskan tentang hukum ‘aqlī dalam kitabnya Ummul-Barāhīn (hal 41-42):
أَمَّا الحُكْمُ العَقْلِيِ فَهُوَ عِبَارَةٌ عَمَّا يُدْرِكُ العَقْلُ ثُبُوتَهُ أَوْ نَفْيَهُ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى تَكَرُّرٍ وَلَا وَضْعِ وَاضِعٍ
“Hukum ‘aqlī adalah sebuah ungkapan tentang sesuatu yang tetap dan tidaknya diketahui oleh akal tanpa perlu terjadi berulang kali dan tidak perlu naṣ”.
Dari sini bisa kita pahami, bahwa hukum ‘aqlī adalah hal-hal yang bisa dinilai oleh akal keberadaan dan ketiadaannya tanpa perlu terjadi berulang kali dan tidak perlu dalil dari al-Qur’an atau hadis. Kemudian, perlu di ketahui bahwa hukum ‘aqlī secara global terbagi menjadi tiga klasifikasi:
1.Wajib ‘Aqlī
Dalam kitab Ummul-Barāhīn Imam as-Sanusi berkata (hal 43-44):
فَالوَاجِبُ مَا لّا يُتًصَوًّرُ فِي العَقْلِ عَدَمُهُ
“Wajib ‘aqlī adalah sesuatu yang ketiadaannya tidak bisa diterima oleh akal.”
Kemudian wajib ‘aqlī terbagi menjadi dua; wajib ‘aqlī ḍarūrī (tidak perlu diangan-angan terlebih dahulu) dan wajib ‘aqlī naẓarī (perlu diangan-angan terlebih dahulu).
- Contoh wajib ‘aqlī ḍarūrī adalah bahwa setiap jirm (benda) pasti menempati ruang kosong. Maka, secara langsung akal tidak akan menerima jika ada suatu benda yang tidak menempati ruang kosong; tidak perlu waktu lama untuk menilai bahwa semua benda itu butuh ruang kosong.
- Contoh wajib ‘aqlī naẓarī adalah bahwa sifat qidam (tidak memiliki permulaan) itu wajib bagi Allah. Akal bisa mengetahui wajibnya qidam bagi Allah setelah berfikir, “apa yang terjadi jika Allah itu bersifat hudūṡ(baru)?” Sifat hudūṡ, jika disandarkan kepada Allah, maka akan menyebabkan daur dan tasalsul. Daur adalah sesuatu menjadi sebab bagi dirinya sekaligus menjadi akibat bagi dirinya, Sedangkan tasalsul adalah bergantungnya wujud kepada wujud yang lain tanpa adanya titik akhir. Maka, setelah akal berangan-angan tentang konsekuensi jika Allah bersifat hudūṡ, pastinya ia akan menyimpulkan bahwa sifat hudūṡ itu mustahil bagi Allah.
2.Mustahil‘Aqlī
Imam as-Sanusi berkata:
وَالمُسْتَحِيِلُ مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي العَقْلِ وُجُوْدُهُ
“Mustahil ‘aqlī adalah sesuatu yang keberadaannya tidak bisa diterima oleh akal.”
Dari definisi yang disampaikan Imam as-Sanusi di atas, bisa kita ambil pemahaman bahwa segala hal yang dinilai oleh akal tidak mungkin terjadi, maka itu adalah mustahil ‘aqlī.
Mustahil ‘aqlī juga terbagi menjadi dua bagian; mustahil ‘aqlī ḍarūrī dan mustahil ‘aqlī naẓarī.
- Contoh mustahil ‘aqlī ḍarūrī adalah suatu benda yang tidak bergerak dan tidak diam secara bersamaan, maka akal tidak mungkin bisa menerima terjadinya hal semacam ini, karena setiap benda jika tidak bergerak, ya pasti diam. Begitupula sebaliknya.
- Contoh mustahil naẓarī adalah jika Allah berupa jirm (benda), maka akal tidak akan menerimanya. Sebab, jika Allah itu jirm, berarti Allah itu baru (hudūṡ). Padahal, sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah itu Qadīm (tidak berawalan).
3.Jāiz ‘Aqlī
Dalam kitab Ummul-Barāhīn Imam as-Sanusi mendefinisikan jāiz ‘aqlī (hal 46-47) dengan:
وَالجَائِزُ مَا يَصِحُّ فِي العَقْلِ وُجُوْدُهُ وَعَدَمُهُ
“Jaiz aqli adalah sesuatu yang keberadaan dan ketiadaanya bisa diterima oleh akal.”
Sebagaimana wajib ‘aqlī dan mustahil ‘aqlī, jaiz ‘aqlī juga terbagi menjadi dua; jāiz ‘aqlī ḍarūrī dan jāiz ‘aqlī naẓarī.
- Contoh jāiz ‘aqlī ḍarūrī adalah “Khoiri adalah santri yang pintar”. Maka secara langsung, akal dapat menerima bahwa Khoiri itu pintar atau tidak; akal tidak perlu berpikir panjang apakah Khoiri itu pintar atau sebaliknya.
- Sedangkan contoh jāiz ‘aqlī naẓarī adalah orang taat yang disiksa, padahal ia tidak pernah bermaksiat. Mungkin pada awalnya, akal kita tidak menerima terjadinya hal tersebut. Mana mungkin orang taat yang tidak pernah bermaksiat selama hidupnya akan disiksa? Bukankah ia terzalimi? Ia disiksa padahal ia telah taat dan menjauhi maksiat. Akan tetapi, setelah berpikir (naẓar) tentang sifat keesaan (waḥdāniah) Allah, serta mengetahui bahwa pada hakikatnya segala perbuatan hamba itu diciptakan oleh Allah, maka, setelah proses naẓar akal sehat kita akan menerima bahwa boleh bagi Allah untuk menyiksa orang taat yang tak pernah berbuat maksiat. Wallāhu a‘lam bis-ṣawāb
Muh Shobir Khoiri|Annajahsidogiri.id