Lalu bagimanakah al-Asy’ari mengejewantahkan paradigma teologinya? Mula-mula yang perlu diketahui bagi siapapun yang ingin mendalami teologi Asy’arian, memahami prisma berpikir al-Asy’ari dalam mengkonstruksi pengetahuan dan perangkatnya hingga mencapai kebenaran hakiki dalam berakidah. Defenisi ilmu atau pengetahuan oleh al-Asy’ari dideskripsikan sebagai: “Sesuatu yang dengannya orang yang tahu dapat mengetahui sesuatu yang diketahui.”
Baca Juga: Telisik Prisma Berpikir Teologi Imam Al-Asy’ari (Bagian I)
Dalam artian orang yang mengetahui suatu hal tidak mungkin disebut dengan orang yang tahu, melainkan melalui jalur di luar dirinya, yaitu ilmu. Sebab bagi al-Asy’ari sifat tahu merupakan sumber bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu. Sebagaimana sifat kuasa adalah titik awal bagi orang untuk disebut sebagai orang yang berkuasa. Dalam arti lain kedua sifat tersebut menjadi penyebab seseorang bisa memiliki salah satu dua sifat tadi. Berbeda dengan Muktazilah yang mendefinisikannya dengan. “Meyakini sesuatu sesuai dengan hakikat yang ada dalam sesuatu tersebut, yang disertai ketetapan hati atas apa yang diyakini.”[1]
Al-Asy’ari mengkritik redaksi yang seperti ini, sebab tidak menafikan makna yang tidak sejalan dengan kata “mengetahui”. Semisal keyakinan seorang mukalid akan kebaharuan alam semesta, dia meyakini kebenarannya, hanya saja tidak mengetahui proses nalar terjadinya kesimpulan bahwa ala semesta itu baharu. Sehingga defenisi Muktazilah kurang tepat.[2]
Cakupan kata “mengetahui” bagi al-Asy’ari tidak terbatas pada pengetahuan yang dihasilkan dari olah pikir, tapi juga mengarah pada induksi yang diperoleh dari pengamatan panca indera (idrâk, red). Karena demikian, konklusi yang berasal dari penggunaan panca indera juga bisa disebut dengan mengetahui juga. Namun pendapat al-Asy’ari yang ini tidak dibenarkan oleh al-Imam Abu Bakar Ibn Furak (w. 406 H), dia memilih pendapat al-Asy’ari yang ada dalam karyanya yang lain. Kesimpulan Ibn Furak adalah diksi “mengetahui” tidak sepadan dengan maknanya idrâk,[3] sebab idrâk ialah pengetahuan yang diperoleh bukan dari premis berpikir. Oleh karenanya diksi tersebut hanya diperuntukan bagi segala sesuatu yang menjadi objek inderawi. Dengan pengertian yang seperti ini, maka objek yang diperhatikan dalam ‘ilm (mengetahui, red) dan idrâk itu berbeda. Jika ‘ilm bertaut kelindan dengan segala sesuatu yang dapat diindra maupun tidak, maka idrâk hanya tertentu pada sesuatu yang bersifat kasat mata.[4]
Nah untuk mencapai kebenaran yang definitif, al-Asy’ari mengklasifikasi instrumen pengetahun menjadi tiga macam, yaitu pengetahuan indrawi atau eksperimental; informasi yang valid; dan nalar logis. Pengetahuan eksperimental hanya bisa dilakukan oleh panca indera, baik indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan peraba. Kegunaan lima indera barusan juga disesuaikan dengan struktur objek yang sama dengan panca indera.[5]
Untuk pengetahuan yang berdasarkan informasi valid bisa digunakan ketika terbatasnya informasi yang diperoleh dari panca indra atau nalar logika. al-Asy’ari memberikan cacatan bahwa dalam menerima suatu informasi, informan tidak disyaratkan harus memiliki klasifikasi kredibelitas tertentu, hal terpenting penerima informasi tersebut meyakini kebenaran apa yang telah ia terima. Sebagaimana seorang mukalid yang mendengarkan pelajaran dari gurunya bahwa dunia itu tidak kekal. Maka jika dia menerimanya tanpa ada keraguan, maka keterangan gurunya adalah pengetahuan bagi dirinya, begitu juga jika sebaliknya.[6]
Sedangkan nalar logika yang dimaksud oleh al-Asy’ari adalah, “Berpikir, menganalisa, dan menganalogikan dengan (format) silogisme. Dan mengilustrasikan sesuatu yang tidak kasat mata dengan yang kasat mata, jika keduanya memiliki kesamaan makna dan ilat.” Berdasarkan defenisi ini, al-`istidlâl al-‘aqlî dibangun atas konstruksi silogisme dengan pendekatan logika yang bisa menghadirkan suatu pengetahuan pada hal yang belum diketahui sebelumnya. Poin yang menjadi fokus pembahasan al-Asy’ari dalam hujah logis ialah qiyâs al-ghayb ‘alâ asy-syâhid (ilustrasi sesuatu yang tidak kasat mata dengan hal indrawi, red). Namun analogi atau ilustrasi ini tidak dikhususukan bagi hal yang tidak kasat mata saja, tapi berbentuk universal yang mencakup segala sesuatu yang tidak diketahui. Jadi diksi al-ghayb lebih diarahkan pada sesuatu yang tidak diketahui dan asy-syâhid pada sesuatu yang diketahui.[7]
Syarat mengaplikasikan metode ini kesamaan ilat atau kausalitas antara keduanya, agar ilustrasi ini bisa benar dan tepat sasaran. Di antara contohnya adalah proses terjadinya gerakan dan pengetahuan pada orang yang bergerak atau yang mengetahui, kemudian divisualisasikan proses tersebut di alam pikiran dengan sesuatu yang tidak dilihatnya, yang juga mengalami kejadian yang sama dengan di atas.[8]
Namun al-Asy’ari memberikan catatan, bahwa dalam analogi ini tidak serta merta mencari padanan ilat dari yang dilihatnya, lalu menyimpulkan bahwa proses ini juga sama dengan yang terjadi pada Allah Swt. yang gaib. Sebab jika seperti itu, maka akan berimplikasi bahwa apa yang dilakukan oleh Allah Swt. prosesnya sama dengan makhluknya. Tentu konklusi yang seperti ini ditolaknya oleh al-Asy’ari, karena Zat dan Sifat Allah Swt. itu berbeda dengan seluruh makhluk-Nya. Thus, untuk menghindari persepsi yang seperti tadi, al-Asy’ari hanya mencukupkan—jika berkaitan dengan Sifat Allah Swt.—pada hasil atau hikmah maha karya dari Sifat-sifat Allah Swt.[9]
Baca Juga: Epistemologi dan Legalitas Diskursus Kalam #1
Kesimpulan akhir dari kerangka berpikir al-Asy’ari, adalah mengoptimalkan tiga instrumen barusan dalam menggapai esensi kesahihan dalam berakidah dan berpengatahuan. Konklusi pengetahuan yang dicapai melalui panca indera memang bersifat parsial, tetapi bisa disempurnakan oleh nilai-nilai rasionalitas yang komprehensif. Hanya saja untuk bisa mencapai kebenaran yang paripurna, diperlukan wahyu ilahi sebagai jalan terakhir untuk mencapai hakikat yang defenitif. Sebab bagaimanapun seorang manusia mendayagunakan akalnya, ia tetap terbatas dan tidak bisa menyingkap hakikat segala sesuatu. Untuk itu syariat yang bersifat ilahi adalah sumber dari terbentuknya hukum-hukum taklif bagi manusia dan akal tidak memiliki peran di dalamnya. Ia hanya bisa memberi pendekatan hikmah dibalik hukum taklif tersebut.[10]
Ahmad Ilham Zamzami | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Qadli Abdul Jabbar bin Ahmad, al-Mughnî, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011, vol. v, hlm. 36.
[2] Syaikhul Azhar Ahmad at-Thayyib, Nazhârât fî Fikr al-`Imam al-`Asy’arî, Kairo: Dar al-Qudz al-Arabi, 2016, hlm. 26-27.
[3] Penulis sementara belum mendapati padanan makna yang tepat dalam Bahasa Indonesia, untuk diksi “idrâk” yang dimaksud oleh al-Asy’ari. Dalam terjemah berbahasa Indonesia idrâk diartikan dengan mengetahui, memahami, dan mengenal. Sedangkan idrâk dalam perspektif al-Asy’ari yang kedua adalah induksi yang diperoleh dari pengetahuan indrai.
[4] Op. Cit, Nazhârât fî Fikr al-`Imam al-`Asy’arî, hlm. 31.
[5] Ibid, hlm. 48.
[6] Ibid, hlm. 50-51.
[7] Ibid, hlm. 53-54.
[8] Ibid, hlm. 55 dan 57.
[9] Ibid, hlm. 57-58.
[10] Ibid, hlm. 77-78.