Bada’ bisa diartikan sebagai timbulnya pemikiran baru, misalnya kita telah mengambil satu keputusan, dengan berbagai pertimbangan yang matang. Buah pertimbangan ini selanjutnya dipublikasikan, agar menghasilkan karya nyata. Namun tidak lama berselang, terlintas di benak kita bahwa keputusan yang telah diambil ternyata kurang tepat, sehingga mengharuskan untuk menghapus keputusan tadi dan menggantinya dengan hasil ide baru. Hal semacam ini lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sebab kesalahan dalam mengambil sikap adalah hal yang manusiawi. Tapi bagaimana kalau doktrin Bada’ dengan arti ini diafiliasikan kepada Allah SWT yang Maha Mengetahui segala sesuatu?
Bada’ adalah salah satu akidah Syiah yang memiliki tempat tersendiri dalam keyakinan mereka. Betapa akidah ini memiliki urgensitas yang setara dengan akidah-akidah Syiah yang lain, sampai ada riwayat dalam kitab hadis mereka yang menyatakan berikut:
مَا عُبِدَ اللهُ بِشَيْءٍ مِثْلَ البَدَاءِ
Tidak ada penyembahan kepada Allah yang lebih baik dari pada Bada’
Dalam riwayat lain dari Abdillah juga disebutkan:
مَا عُظِّمَ الله مِثْلَ البَدَاءِ
Tidak ada pengagungan kepada Allah seperti Bada’
Sejarah Muncul Bada’
Doktrin Bada’ sama sekali tidak dikenal dalam Islam periode awal, dan setelah dikaji ulang juga tidak ditemukan sumbernya, baik dalam al-Quran maupun hadis. Ternyata, doktrin serupa (Bada’) sebelumnya memang berkembang dalam ajaran keagamaan Yahudi. Maka, penalaran yang paling mendekati kebenaran mengenai awal mula munculnya doktrin ini adalah, bahwa Bada’ memang bersumber dari doktrin Yahudi.
Baca Juga: Kebingungan Sekte Syiah
Kesimpulan ini semakin rasional jika kita kembali pada kenyataan bahwa pionir sekte Syiah memang seorang Yahudi tulen, yakni Abdullah bin Saba’. Dalam beberapa referensi ditemukan penjelasan bahwa dalam upaya Mensosialisasikan ajaran Yahudi untuk dikonversikan menjadi Syiah, Abdullah bin Saba’ berusaha memperkenalkan Bada’ pada kalangan pengikutnya, di samping terus mengajak kaum muslimin untuk membela hak Imam Ali yang menurutnya telah dirampas oleh khalifah-khalifah sebelumnya.
Dalam hal ini Abdullah bin Saba’ meyakinkan para pengikutnya bahwa Allah SWT juga bisa memiliki ide-ide baru, menyesal atau berbuat salah. Karena itulah golongan Sabaiyah (pengikut Ibnu Saba’) memercayai bahwa Allah SWT bisa memiliki sifat Bada’. Selanjutnya, istilah Bada’ semakin populer setelah dijadikan akidah resmi oleh golongan Kaisaniyah, atau golongan yang juga dikenal dengan sebutan Mukhtariyah (pengikut al-Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi). Disebutkan bahwa yang menyebabkan mereka memasukan Bada’ sebagai salah satu akidah pokok adalah kesalahan ramalan al-Mukhtar bin Abi Ubaid ketika mengabarkan kepada pasukannya bahwa Allah SWT telah berjanji akan memberikan kemenangan kepada mereka dalam menghadapi pasukan Mush’ab bin Zubair. Pasukan yang dipimpin panglima Ahmad bin Symith itu dipukul mundur oleh Mush’ab. Mereka mendatangi al-Mukhtar dan menagih janji Tuhan itu: “Mana kemenangan yang dijanjikan Tuhan?!” al-Mukhtar pun menjawab:
هَكَذا وَعَدَنِي رَبِّي, ثُمَّ بَدَا فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَدْ قَالَ: “يَمْحُوْ الله مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ
“Demikianlah janji Allah kepadaku, namun Dia mempunyai pemikiran lain, sesungguhnya dia benar-benar telah berfirman: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, sedangkan di sisi-Nya Ummu al-Kitab.”
Al-Mukhtar berkilah sedemikian sebab sebelumnya ia telah menyampaikan kepada seluruh pengikutnya bahwa dirinya bisa mengetahui hal-hal yang gaib. Namun, ketika ‘pengetahuan terhadap hal-hal yang gaib’ itu sedang tidak berfungsi, maka ia mencari celah, bagaimana sekiranya kepercayaan pengikutnya tidak pudar, dan akhirnya ia menunjuk ayat di atas sebagai justifikasi bagi pilihannya tersebut.
Begitulah totalitas Syiah terhadap doktrin Bada’ memang benar-benar melekat, hingga doktrin ini teraplikasi dalam ritual keseharian mereka. Sebagai contoh, jika warga Iran akan memasuki makam Imam Ali at-Taqi, (Imam yang ke sepuluh) dan Imam Hasan al-Askari (Imam yang ke sebelas) mereka selalu mengucapkan salam sebagai berikut:
السَّلامُ عَلَيْكُمَا يَا مَنْ بَدَا الله فِى شَأْنِكُمَا
Semoga keselamatan atas kalian berdua, wahai Imam yang Allah mengubah rencana-Nya dalam diri kalian.
Jika ditelusuri lebih jauh, fungsi Bada’ dalam keberagaman Syiah, seperti halnya Taqiyah, rupanya memang sangat krusial dalam rangka menjaga kedok dan doktrin-doktrin mereka yang lain, seperti Imamah, Ishmatul-imâm, dan yang lain. Sebab ternyata, apa yang menimpa Imam Ja’far ash-Shadiq juga menimpa Imam Ali bin Muhammad (Ali at-Taqi). Putra tertua beliau (Imam Ali bin Muhammad), Muhammad abu Ja’far, juga meninggal saat Imam Ali at-Taqi masih hidup. Imamah pun diwasiatkan kepada adiknya, yaitu Al-Hasan Abu Muhammad al-Askari. Yang aneh, justru perpindahan Imamah dari Muhammad Abu Ja’far kepada Al-Hasan lebih populer di kalangan masyarakat Syiah daripada perpindahan ke-imamah-an Isma’il kepada Musa bin Ja’far, padahal kedua putra Imam Ja’far Shadiq-lah sebenarnya yang menjadi cikal bakal lahirnya doktrin Bada’ sebagai akidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariah. Betapa rancunya akidah mereka. Wallâhu A’lam.