أوصاني خليلي بثلاث صوم ثلاثة أيام من كل شهر وصلاة الضحى ولا أنام إلا على وتر[1]
“Kekasihkuﷺ mewasiatkan kepadaku tiga hal, yaitu puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat shalat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menjadi dalil yang cukup kuat atas kebolehan melakukan Shalat Dhuha serta kesunahannya. Shalat Dhuha merupakan salah satu kesunahan yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari masyarakat Muslim di seluruh dunia. Shalat Dhuha memiliki beberapa keutamaan yang menjadi alasan dan dorongan tersendiri bagi tiap-tiap muslim untuk melaksanakannya. Di antaranya adalah: 1) dicukupi kebutuhannya, 2) diampuni dosanya meski sebanyak buih di lautan 3) mendapatkan istana di surga.
Dari beberapa keutamaan Shalat Dhuha ini, dapat kita pahami kenapa sebagian masyarakat Muslim sangat antusias untuk mengerjakan Salat Dhuha. Bahkan, beberapa masyarakat ada yang melaksanakannya secara berjamaah, seperti yang kita temui di lembaga-lembaga Islam dan pesantren.
Baca Juga: Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat
Namun, terdapat permasalahan yang akhir-akhir ini muncul di tengah-tengah masyarakat. Beberapa orang ada yang mempertanyakan perihal berjamaah dalam Shalat Dhuha; apakah boleh untuk dikerjakan atau tidak?
Perlu diketahui bahwa Shalat Dhuha merupakan shalat yang tidak disunahkan untuk dilakukan secara berjamaah. meski begitu, berjamaah dalam Salat Dhuha tidak dihukumi makruh (mubah), seperti yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i bahwa hal tersebut boleh-boleh saja yang didasari pada beberapa hadis shahih.
َأَمَّا بَاقِي النَّوَافِلِ كَالسُّنَنِ الرَّاتِبَةِ مَعَ الْفَرَائِضِ وَالضُّحَى وَالنَّوَافِلِ الْمُطْلَقَةِ فَلَا تُشْرَعُ فِيهَا الْجَمَاعَةُ أَيْ لَا تُسْتَحَبُّ لَكِنْ لَوْ صَلَّاهَا جَمَاعَةً جَازَ وَلَا يُقَالُ إِنَّهُ مَكْرُوهٌ وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مُخْتَصَرَيْ الْبُوَيْطِيِّ وَالرَّبِيعِ عَلَى أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِالْجَمَاعَةِ فِي النَّافِلَةِ وَدَلِيلُ جَوَازِهَا جَمَاعَةً أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ فِي الصَّحِيحِ.[2]
“Adapun salat sunah yang lain, seperti salat sunah rawatib disertai salat wajib, Shalat Dhuha, dan salat sunah mutlak, maka berjamaah tidak disyariatkanpada salat-salat ini, artinya tidak disunahkan, namun jika dilakukan secara berjamaah, maka diperbolehkan dan tidak bisa dikatakan makruh. Imam Syafi’i rahimahullah telah menjelaskan dalam Mukhtashar Al-Buwaiti dan Al-Rubai’i bahwa tidak mengapa berjamaah dalam salat sunah, dan dalil-dalil yang menunjukkan kebolehannya ada banyak sekali dalam kitab-kitab hadits yang shahih”.
Baca Juga: Menanggapi Problematika Bidah
Mengenai Salat Dhuha berjamaah, ‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur berpendapat:
(مسألة : ب ك) : تباح الجماعة في نحو الوتر والتسبيح فلا كراهة في ذلك ولا ثواب ، نعم إن قصد تعليم المصلين وتحريضهم كان له ثواب ، وأي ثواب بالنية الحسنة ، فكما يباح الجهر في موضع الإسرار الذي هو مكروه للتعليم فأولى ما أصله الإباحة ، وكما يثاب في المباحات إذا قصد بها القربة كالتقوّي بالأكل على الطاعة ، هذا إذا لم يقترن بذلك محذور ، كنحو إيذاء أو اعتقاد العامة مشروعية الجماعة وإلا فلا ثواب بل يحرم ويمنع منها[3].
Dari penjelasan di atas, kita dapati bahwa ulama menetapkan hukum mubah dalam Shalat Dhuha berjamaah, hanya saja tidak mendapatkan pahala. Kecuali jika hal tersebut dilakukan dengan tujuan mengajarkan dan memotivasi untuk mengerjakan Shalat Dhuha, maka akan mendapatkan pahala. Namun, perlu diingat bahwa kebolehan berjamaah dalam Shalat Dhuha ini adalah ketika tidak menimbulkan keharaman, semisal dapat merugikan orang lain, atau menyebabkan masyarakat umum meyakini disyariatkannya jamaah dalam Shalat Dhuha. Wallahu a’lam
Lubbil Labib | annajahsidogiri.id
[1] Sobhi Mahmoud Umairah, Al-Muhît fi Al-Ahadis An-Nabawiyah. Juz. 01 Hal. 30. (Jamiul Kutub al-Islamiyah)
[2] An-Nawawi, kitab Al-Majmu’ juz. 04 hal. 55 (Darul Kutub al-Islamiyah)
[3] Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah Al-Mustarsyidin juz.1 hal. 136 (Jamiul Kutub al-Islamiyah)