Ayahnya, Abū Muhammad al-Juwainī merupakan pakar fikih pada masanya. Pribadinya sufi dan warak. Ia berprofesi sebagai juru tulis. Dari penghasilannya, ia membeli seorang budak yang berperangai sopan dan baik, salihah. Al-Juwainī sangat hati-hati menjaga makanan. Dia tidak rela memberi makanan yang subhat, apalagi haram. Ketika Imam Haramain lahir, al-Juwainī berpesan kepada istrinya supaya tidak mengizinkan siapapun menyusuinya. Pada suatu hari istrinya menderita sakit, sementara Haramain kecil menangis. Tiba-tiba salah satu tetangga datang, lalu menyusui Haramain kecil. Ketika al-Juwainī melihat kejadian ini, langsung ia menggendong, membelai dan mengusap perut Haramain. Lantas memasukkan jari-jarinya ke mulut Haramain kecil guna memuntahkan seluruh air susu yang telah masuk. Al-Juwainī berkata, “Lebih ringan bagiku, apabila ia (Haramain) mati akan tetapi tabiatnya tidak rusak, sebab menyusu kepada orang lain.” Haramain lahir pada tanggal 18 Muharram tahun 419 H.
Baca Juga: Pentingnya Generasi Imam Al-Asy’ary
Pada mulanya, Imam Haramain belajar kepada sang ayah. Saat mengajar Imam Haramain muda, sang ayah kagum atas skil dan kecerdasan Imam Haramain muda. Ia merasa bahwa Imam Haramain kelak akan tampil sebagai sosok berpengaruh. Benar sekali! ketika al-Juwainī, sang ayah wafat, beliaulah pengganti posisinya dalam menyebarkan ilmu agama kepada halayak umum, padahal usianya belum genap 20 tahun. Sembari mengajar, Imam Haramain juga belajar. Sebelum mengisi pengajian pada majlisnya, ia terlebih dahulu mengaji kepada syekh Abū Qāsim al-Iskāfī al-Isfirāyīnī tepatnya madrasah Baihaqī, sehingga Beliau menguasai ilmu usul. Sejak itu, beliau tampil sebagai rujukan masyarakat dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Akidah usūl, furū‘, sastra, fikih, dan lainnya. Tidak hanya itu, beliau juga tampil sebagai ulama produktif.
Pada masa kekuasaan dinasti Saljuk, menteri Nizāmul-Muluk menunjuk Haramain menjadi tenaga pengajar madrasan Nizamiah Naisabur. Selain mengajar, beliau juga mendapatkan tugas sebagai pembaca khutbah, Imam Jumat, dan pemberi mauizah. Beliau menjabat sebagai guru besar madrasah Nizamiah selama 30 tahun. Setiap pengajiannya selalu penuh oleh para pencari ilmu dari berbagai penjuru kota. Mayoritas peserta pengajiannya mencapai 300 peserta.
Baca Juga: Imam al-Gazālī dan al-Munqiẓ
Beliau adalah ulama produktif. Produktifitasnya tergambar dari karya-karyanya pada berbagai disiplin ilmu. Sebagian karya Beliau adalah Lam’ul-Adillah fi Qawaidi Ahlis-Sunnah wal Jamaah, asy-Syamil fi Ushulid-din ‘ala Mazhabil-Asyairah, al-Waraqat fi Ushulil-Fiqh, Nihāyatul-Mathlab fī dirāyatul-Mażhab, asy-Syāmil, al-Burhān, Talkhīshut-Tafrīq, al-Irsyād, al-‘Aqidatun-Nizāmiah, dan lain-lain.
Beliau merupakan a‘lamul-Mutakhkhirīn dari murid-murid asy-Syāfi‘ī secara mutlak. Syekh Abū Ishāq berkata, “bersenang-senanglah (belajar) bersama Imam Haramain, karena beliau merupakan orang yang paling suci zaman ini.” al-Mujāsyi‘ī juga berkata, “tidak pernah aku lihat orang yang lebih cinta kepada ilmu daripada Imam Haramain, beliau juga tidak pernah meremehkan siapapun.”
Imam Haramain menghembuskan nafas terakhir pada malam Rabu tanggal 25 Rabiul Akhir tahun 478 H. Beliau dimakam pada keesokan hari di kediamannya. Setelah beberapa tahun jenazahnya dipindah dimakamkan di samping makam ayahnya, al-Juwainī. Abū Fath at-thabārī berkata, “aku menjenguk Imam Haramain. Lalu dia berkata, “Saksikanlah bahwa aku mencabut segala perkataan yang berbeda dengan hadis, dan aku mati sebagaimana orang-orang lemah Naisabur.”
Mustafid Ibnu Khozin|Annajahsidogiri.id