“Orang yang paling berhak berada di dekatku pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak bersalawat kepadaku” begitulah arti sabda Nabi Muhammad ﷺ riwayat Sahabat Ibnu Mas’ud. Barangkali hadis ini yang menjadi motivasi masyarakat Indonesia untuk semangat menghadiri majelis salawat. Maka dari itu, tidak aneh jika di Indonesia banyak ditemukan majelis-majelis salawat yang rutin mengadakan acara salawatan bersama setiap malam, minggu, atau bulan.
Hanya saja, sebagaimana dilansir dari laman “Www.atsar.id” kelompok sebelah (Salafi Wahabi) mengklaim bahwa salawat yang biasa dilantukan masyarakat Indonesia yang secara zahir lafazhnya tidak terdapat nas langsung dari hadis, sahabat, para tabiin dan para ulama ahli ijtihad merupakan salawat bidah. Mereka mengklaim bahwa dalam lafadz salawat tersebut terdapat penyelisihan terhadap petunjuk Nabi ﷺ, seperti salawat:
الصلاة و السلام عليك يا رسول الله ، قد ضاقت حيلتي فأدركني يا حبيب الله
“Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepadamu wahai rasulullah, sungguh telah habis upayaku, maka bantulah aku wahai kekasih Allah“.
Bukan hanya diklaim bidah, bagian yang kedua dari salawat di atas diklaim berbahaya dan termasuk bentuk kesyirikan.[1] Lantas, haruskah bersalawat kepada Nabi menggunakan sigat dari hadis? Dan benarkah klaim Wahabi bahwa salawat di atas termasuk sebuah kesyirikan?
Tanggapan
Mengenai hukum membaca salawat, mayoritas ulama sepakat bahwa bersalawat kepada baginda Nabi Muhammad hukumnya wajib fardu ‘ain. Hanya saja, ulama masih berselisih pendapat tentang jumlah kewajiban bersalawat tersebut, ada yang mengatakan wajib setiap salat, satu kali seumur hidup dll. Pendapat-pendapat tersebut berlandasan ayat:
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab [33] : 56)
Kewajiban salawat tersebut tidak harus menggunakan lafadz yang warid dari hadis. Meski menggunakan lafadz yang tidak terdapat dalam hadis atau dari para sahabat itu juga dianggap cukup dan tidak bidah sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Barinya sebagai berikut:
وَذَهَبَ الْجُمْهُوْرُ إلَى الْاِجْتِزَاءُ بِكُلِّ لَفْظٍ أدَّى الْمُرَادَ بِالصَّلاةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ[2]
“Mayoritas ulama menyatakan cukup salawat dengan setiap lafadz yang dapat menunaikan maksud salawat kepada beliau (Rasulullah) shaallahu alaihi wa salam.”
Pendapat Ibnu Hajar di atas menjelas tentang membaca salawat dalam salat, tepatnya bacaan salawat yang wajib dibaca ketika duduk tasyahhud akhir. Adapun mengenai shalawat di luar shalat. Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya yang bertajuk Hasyiyatul Jamal, ketika menjelaskan mengenai anjuran memperbanyak shalawat di Hari Jumat menyatakan:
….وَيَنْبَغِي أَنْ تَحْصُلَ بِأَيِّ صِيغَةٍ كَانَتْ ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ أَفْضَلَ الصِّيَغِ الصِّيغَةُ الْإِبْرَاهِيمِيَّة….[3]
“….Seyogyanya (terhasilkan pahala shalawat) dengan bentuk apa saja, namun telah dimaklumi bahwa bentuk shalwat yang paling utama adalah shalawat ibrahimiyah.…”.
Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa membaca salawat tidak harus menggunakan sigat yang warid dari hadis, baik salawat dalam salat maupun di luar salat. Jadi, klaim salawat bidah itu hanya buatan Salafai Wahabi yang ingin menyalahkan salawat yang sering dibaca oleh masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Umur Bisa Bertambah dan Berkurang?
Mengenai salawat yang secara literal lafadznya meminta atau berdo’a kepada selain Allah, maka tidak boleh langsung divonis sebagai bentuk kesyirikan. Sebab meski secara literal lafadznya kontroversi, namun ketika dipahami lagi, tidak ada kontroversi sama sekali. Demikian ini karena lafadz salawat tersebut menggunakan majaz aqli, yakni menisbatkan sebuah perbuatan kepada sebabnya. Semisal ada orang yang meminta kepada seorang wali, maka jangan dipahami orang tersebut meminta kepada wali, melainkan meminta kepada Allah lewat pelantara seorang wali, karena wali tersebut menjadi sebab dikabulkannya permintaannya, bukan wali tersebut yang mengkabulkan hajatnya. Hanya Allah semata lah yang mengabulkan atau menyatakan doa mereka. Hal demikian jamak disebut dengan istigasah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Dr. Abdullah kamil dalam kitabnya yang berjudul Al-Insaf fima Utsira Haulal-Khilaf yang berbunyi:
الِاسْتِغَاثَةُ هِيَ طَلَبُ التَّوَجُّهِ مِنْ الْمُسْتَغَاثِ بِهِ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي قَضَاءِ الْحَاجَةِ؛ إِذْ لَيْسَ لِأَحَدٍ مَعَ اللَّهِ فِعْلٌ أَوْ تَرْكٌ، وَإِنَّمَا الْمُسْتَغَاثُ بِهِ سَبَبٌ لِلشَّفَاعَةِ وَالدُّعَاءِ، وَلِقَضَاءِ الْحَاجَةِ. وَالْقَرِينَةِ: أَنَّ الْمُسْتَغِيثَ مِنْ الْمُوَحِّدِينَ وَلَا يَنْبَغِي إِسَاءَةُ الظَّنِّ بِهِ. وَهَذَا لَا يُعَدُّ عِبَادَةً لِلْمُسْتَغَاثِ بِهِ، وَإِنَّمَا اسْتِشْفَاعٌ وَاسْتِعَانَةٌ، وَطَلَبُ مُرَادٍ بِهِ هُوَ طَلَبُ السَّعْيِ وَالتَّسَبُّبِ، وَرَاجِعٌ إلَى التَّوَسُّلِ بِسَعْيِهِمْ الْمَقْدُورِ لَهُمْ كَسْبًا لَا خَلْقًا وَلَا إِيجَادًا؛ فَلَيْسَ ذَلِكَ كُفْرًا صُرَاحًاوَلَا شِرْكًا جَلِيًا، وَإِنَّمَا هُوَ رَاجِعٌ إِلَى جَعْلِ السَّعْيِ الْمَيْسُورِ لِلْعَبْدِ وَسِيلَةً وَسَبَبًا عَادِيًّا لِخَلْقِ اللَّهِ الْفِعْلَ الْمُسْنَدَ إِلَى الْعَبْدِ ظَاهِرًا.
“Istigasah adalah permohonan dari orang yang mencari pertolongan untuk menghadap kepada Allah untuk memenuhi kebutuhannya. Karena tidak ada seorang pun yang melakukan tindakan atau meninggalkannya di hadapan Allah. Orang yang di istigasai adalah sebab untuk syafaat, doa, dan untuk terkabulnya hajat. Indikasinya, orang yang beristigasah mentauhidkan Allah, dan tidak seyogyanya disangka buruk. Hal ini tidak termasuk ibadah kepada orang yang diistigasahi (diminta pertolongan), melainkan meminta syafaat dan pertolongan. Yang di maksud meminta (thalab) adalah meminta untuk berusaha dan menjadi sebab, dan mengacu pada mencari wasilah dengan usaha yang diistigasahi (yang diminta pertolongan), bukan karena mereka yang membuat atau yang mewujudkan. Dengan demikian, hal Ini bukanlah kekafiran yang terang-terangan atau kemusyrikan yang terang-terangan, melainkan kembali kepada sebuah usaha yang dilakukan dijangkau oleh hamba sebagai wasilah dan sebab ‘adiy bagi penciptaan Allah terhadap Perbuatan yang disandarkan kepada hamba secara zahirnya.” Wallahu a’lam bish-shawab
A. Sholahuddin Al-Ayyubi | annajahsidogiri.id
[1] bagian pertama dari shalawat ini benar. Namun, yang berbahaya dan termasuk kesyirikan adalah bagian yang kedua. Yaitu pada bunyi, “bantulah aku wahai kekasih Allah“. https://www.atsar.id/2023/05/shalawat-shalawat-bidah.html
[2] Ibnu Hajar al-Hiatami, Fath al-Bari, juz 18 hlm. 138.
وَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى الِاجْتِزَاء بِكُلِّ لَفْظ أَدَّى الْمُرَاد بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى قَالَ بَعْضهمْ : وَلَوْ قَالَ فِي أَثْنَاء التَّشَهُّد الصَّلَاة وَالسَّلَام عَلَيْك أَيّهَا النَّبِيّ أَجْزَأَ ، وَكَذَا لَوْ قَالَ أَشْهَد أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْده وَرَسُوله ، بِخِلَافِ مَا إِذَا قَدَّمَ عَبْده وَرَسُوله ، وَهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَنْبَنِي عَلَى أَنَّ تَرْتِيب أَلْفَاظ التَّشَهُّد لَا يُشْتَرَط وَهُوَ الْأَصَحّ ، وَلَكِنْ دَلِيل مُقَابِله قَوِيّ لِقَوْلِهِمْ ” كَمَا يُعَلِّمنَا السُّورَة ” وَقَوْل اِبْن مَسْعُود ” عَدَّهُنَّ فِي يَدَيَّ ” وَرَأَيْت لِبَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ فِيهِ تَصْنِيفًا ، وَعُمْدَة الْجُمْهُور فِي الِاكْتِفَاء بِمَا ذُكِرَ أَنَّ الْوُجُوب ثَبَتَ بِنَصِّ الْقُرْآن بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ) فَلَمَّا سَأَلَ الصَّحَابَة عَنْ الْكَيْفِيَّة وَعَلَّمَهَا لَهُمْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاخْتَلَفَ النَّقْل لِتِلْكَ الْأَلْفَاظ اِقْتَصَرَ عَلَى مَا اِتَّفَقَتْ عَلَيْهِ الرِّوَايَات وَتَرَكَ مَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ كَمَا فِي التَّشَهُّد ، إِذْ لَوْ كَانَ الْمَتْرُوك وَاجِبًا لَمَا سَكَتَ عَنْهُ اِنْتَهَى
[3] Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, juz 3 hlm. 369.
{صلى الله عليه وسلم} في ليلة الجمعة ويومها أفضل من الاشتغال بغيرها مما لم يرد فيه نص بخصوصه أما ما ورد فيه ذلك كقراءة الكهف والتسبيح عقب الصلوات فالاشتغال به أفضل انتهت ثم قال ولم يتعرض لصيغة الصلاة وينبغي أن تحصل بأي صيغة كانت و معلوم أن أفضل الصيغ الصيغة الإبراهيميةثم رأيت في فتاوى حج الحديثية ما نصه نقلا عن ابن الهمام أن أفضل الصيغ من الكيفيات الواردة في الصلاة عليه اللهم صل أبدا أفضل صلواتك على سيدنا محمد عبدك ونبيك ورسولك وآله وسلم عليه تسليما كثيرا وزده تشريفا وتكريما وأنزله المنزل المقرب عندك يوم القيامة
Comments 1