2.Menaggapi anggapan sebagian orang (utamanya Liberalis) bahwa tafsir klasik tidak relevan saat ini, contoh dalam kasus di atas?
Untuk menanggapi orang-orang sekarang yang mungkin salah paham, ini kita harus memiliki keyakinan juga bahwa al-Quran dari awal itu turunnya, rencananya Allah adalah bal huwa ayatun bayyinat fi suduril ladina utul ‘ilma, al-Quran hanya akan menjadi ayat bagi orang-orang yang hatinya diberi ilmu oleh Allah. Jadi, untuk mengetahui al-Quran harus tahu ulama. Jadi, jika yang menafsirkan al-Quran itu bukan ulama, jangan-jangan itu bukan tafsiran al-Quran tapi tafsiran mereka sendiri. Makanya, ulama dulu, ulama klasik, mereka adalah ulama yang jelas. Yang memahami al-Quran itu adalah ulama.
Maka, supaya selamat dari pemikiran-pemikiran yang takutnya salah kita harus memiliki sandaran kepada ulama. Itu mungkin akan membendung keberanian-keberanian berfikir supaya tidak bertentangan dengan cara berfikir ulama, sebab cara berfikir mereka bisa dikatakan selamatlah dari Allah sendiri, bal huwa ayatun bayyinat fi suduril ladina utul ‘ilma. Kalau bukan di hatinya ulama bisa-bisa al-Quran tidak menjadi ayatun bayyinat. Mungkin hanya menjadi kitab bacaan, kitab sejarah dan seterusnya.
3.Namun, di lain sisi melirik pada pencapaian kemajuan Barat, mereka menawarkan tafsir Hermeunetika sebagai gantinya agar Islam juga bisa maju, tanggapan kiai?
Tanggapan saya mungkin sebagaimana difirmankan Allah ketika menjelaskan tentang birrul walidain. Di akhir ayat Allah mengatakan robbukum a’lamu bima fi nufusikum in takunu sholihin fa innallaha kana lil awwabina ghofuro. Di sini intinya kalau tujuannya adalah pemaksaan hermeneutika dan ini ada hasilnya baik, misalnya, maka robbukum a’lamu bima fi nufusikum, Allah yang tahu. Kalau misalnya tidak baik, ya Allah juga yang tahu. Yang intinya in takunu sholihin, kalau kalian soleh fa innallaha kana lil awwabina ghofuro. Pokok soleh insya Allah selamat. Bawa-bawa tafsir hermeneutika tapi yang bawa ini orangnya soleh bisa jadi banyak yang masuk Islam, banyak yang cinta al-Quran gara-gara itu. Walaupun tafsir hermeneutika, misalnya, adalah sesuatu yang menjadi perdebatan orang-orang kita apakah boleh digunakan dalam al-Quran atau tidak?
Di sini kita mengetahui bahwa hidayah itu tidak datang dari hal-hal yang benar saja, tapi datang juga dari hal yang salah. Seperti halnya kita mengetahui cerita saharatu fir’aun. Dulu para ulama mengatakan bahwa qolu ya musa imma an tulqiya antum wa imma an nakuna nahnul mulqin, wahai Musa, apakah kamu dulu yang mau melempar atau saya dulu yang melempar. Ini dianggap oleh para ulama dulu bahwasanya itu adalah adab mereka kepada Nabi Musa, di mana barakahnya adab ini akhirnya mereka masuk Islam ketika mereka kalah. Nah, itu qoul. Ya memang benar adab membawa manfaat baik bagi orang kafir atau orang Islam.
Baca Juga : Rubrik Wawancara
Tapi, ada cara pemikiran yang kedua, yang mana ini juga berdasarkan ayat. Mereka mendapat hidayah sebenarnya bukan karena adab kepada Nabi Musa, tapi karena mereka mencintai dunia. Kenapa mencintai dunia? Karena sebelum mau tanding dengan Nabi Musa para penyihir itu berkata kepada fir’aun a inna lana la ajran in kunna nahnul ghalibun, apakah dapat balasan atau hadiyah kalau saya menang melawan Nabi Musa. Qola naam bal innakum minal muqorrabin. Si fir’aun mengatakan “oke, kamu akan mendapatkan bahkan kamu jadi orang-orang dekat saya”. Jadi mereka untuk memerangi Nabi Musa berangkatnya bukan dari adab tapi dari cinta dunia. Setelah itu mereka imma an tulqiya antum wa imma an nakuna nahnul mulqin, iya kalau itu kalimat yang beradab. Bagaimana kalau itu kalimat penghinaan. “Ayo kamu dulu atau aku dulu?” Bisa jadi kalimat itu kalimat penghinaan.
Jadi, asal muasal bertangding dengan Nabi Musa itu tidak ikhlas samasekali. Sangat-sangat duniawi. Tapi dari kejahatan itu, malah Allah memberikan hidayah kepada siapa saja, yang mana hal ini sesuai dengan firman Allah ya’ti bihi man yasya’. Allah kalau ingin memberi hidayah kepada orang yang ia kehendaki, baik mau pakek cara salah atau cara benar, pasti kalau hidayah sudah datang ya bisa saja. Tidak harus pakek tafsir yang benar, metode yang benar. Kadang yang seperti itu malah orang-orang ragu dan seterusnya. Kira-kira seperti itu.
bersambung…
Abd.Jalil | Annajahsidogiri.id