Termasuk dari tradisi yang banyak berseliweran di tengah-tengah masyarakat Indonesia terutama di pulau Jawa adalah memberi jimat pada anak kecil yang umumnya bertuliskan kalimat-kalimat Thayyibah yang kemudian dikalungkan pada si anak dengan tujuan supaya si anak terhindar dari mara bahaya penyakit maupun gangguan makhluk ghaib. Hingga banyak dari kaum Wahabi yang menatap sinis atas merebaknya praktek tradisi tersebut di kalangan masyarakat. Mereka menuduh praktek tersebut sebagai perbuatan bidah yang mengandung kesyirikan. Benarkah tuduhan tersebut?
Memang ada satu hadis Nabi ﷺ yang secara eksplisit melarang penggunaan jimat. Seperti hadis berikut:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْك[1]
“sungguh ruqyah(pengobatan dengan doa), jimat dan tiwalah (sejenis susuk daya pikat) adalah perbuatan yang menyebabkan kesyirikan”
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ[2]
“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan syirik.”
Namun Rasulullahﷺ juga menjelaskan, selagi perbuatan tersebut tidak mengandung unsur kesyirikan maka hukumya boleh.
Baca Juga: Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah; Kitab Seputar Politik dan Teologi Beragam Sekte Pecahan Islam
Hal ini sebagaimana yang tertera dalam hadis yang berbunyi:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ[3]
“Dari Auf bin Malik al-Asjai, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana anda melihat tersebut. Nabi ﷺ kemudian menjawab,” kemari tunjukkan azimatmu padaku. Membuat azimat sebenarnya tidak masalah selagi tidak mengandung kesyirikan.”(HR Muslim [4079]).
Juga kami paparkan khilafiyah para ulama Ahlussunah dalam masalah ini:
وَقَدِ اخْتَلَفَ فِي ذَلِكَ أَهْلُ الْعِلْمِ قَالَ السَّيِّدُ الشَّيْخُ أَبُو الطَّيِّبِ صِدِّيقُ بْنُ حَسَنٍ الْقِنًّوْجِيُّ فِي كِتَابِهِ الدِّينِ الْخَالِصِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ فِي جَوَازِ تَعْلِيقِ التَّمَائِمِ الَّتِي مِنَ الْقُرْآنِ وَأَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ فَقَالَتْ طَائِفَةٌ يَجُوزُ ذَلِكَ وهو قول بن عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَهُوَ ظَاهِرُ مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ وَبِهِ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ الْبَاقِرُ وَأَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ وَحَمَلُوا الْحَدِيثَ (يَعْنِي حَدِيثَ بن مَسْعُودٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول إن الرقى والتمائم اللتولة شرك) رواه أحمد وبن ماجة وبن حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحٌ وَأَقَرَّهُ الذَّهَبِيُّ عَلَى التَّمَائِمِ الَّتِي فِيهَا شِرْكٌ
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ لَا يجوز ذلك وبه قال بن مسعود وبن عَبَّاسٍ وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ حُذَيْفَةَ وَعُقْبَةَ بْنِ عامر وبن عُكَيْمٍ وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ مِنْهُمْ أصحاب بن مَسْعُودٍ وَأَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ اخْتَارَهَا كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ َجَزَمَ بِهِ الْمُتَأَخِّرُونَ وَاحْتَجُّوا بِهَذَا الْحَدِيثِ وَمَا فِي
” Ulama berbeda pendapat dalam masalah jimat yang berupa ayat Al-Qur’an, nama-nama Allah dan sifatnya, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan sebagainya. Sekelompok ulama berkata: boleh, yaitu pendapat Abdulloh bin Amr bi Ash, juga Aisyah, Abu ja’far, al-Baqir dan Ahmad dalam satu riwayat. Mereka menilai bahwa hadis tentang ruqyah, jimat dan daya pikat adalah jimat yang didalamnya terdapat unsur kesyirikan. Sekelompok ulama lain berkata: tidak boleh, yaitu pendapat Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Hudzaifah, Uqbah bin Amir, begitu pula sekelompok Tabi’in dari murid-murid Ibn Mas’ud dan Ahmad yang dipilih oleh banyak muridnya. Begitu pula ditegaskan oleh ulama kalangan akhir dan mereka berhujjah dengan hadis tadi.”
Baca Juga: Azimat Penolak Balak dalam Akidah
Mengenai pemberian jimat yang dikalungkan pada anak kecil yang diniati untuk meminta perlindungan pada Allah ﷻ dan tidak meyakini bahwa perlindungan itu murni dari jimat itu sendiri merujuk pada riwayat berikut:
عن يونس بن حبان: قال سالت ابا جعفر عن التعويذ تعلق على الصبيان فرخص فيه[4]
Dari Yunus bin Khabbab, ia berkata “saya berkata kepada abu ja’far tentang doa perlindungan yang dikalungkan kepada anak kecil, ia memperbolehkannya”
Maka, dapat kita simpulkan dari segala keterangan di atas, bahwa adanya larangan adalah ketika mengandung sebuah kesyirikan, yaitu semisal dengan tujuan meminta bantuan pada selain Allahﷻ di balik pemakaian jimat tersebut. Jika kesyirikan tersebut hilang, maka larangan tersebut juga ikut hilang. Wallahu A’lam bis-shawab.
Muhammad Aminulloh | Annajahsidogiri.id
[1] HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Abu Ya’la
[2] HR. Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381) dan al-Hakim (IV/417-418), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud.
[3] HR Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban dan Al-Hakim dari Auf Al-Asy’ari
[4] Ibn abi Syaibah, al-Mushannaf, 5\44