Belakangan ini, muncul kejadian yang nyeleneh dari salah satu pasutri; mereka secara bergantian menjadi imam dalam shalat berjamaah. Kadang sang suami menjadi imam, sedang sang istri menjadi makmum, dan kadang sang istri menjadi imam, sedang sang suami menjadi makmum. Mereka memberi alasan bahwa kewajiban seorang suami untuk selalu menjadi imam merupakan tradisi patriaki yang melekat pada Bangsa Arab zaman dulu, sehingga untuk merealisasikannya pada zaman sekarang sangat tidak relevan sama sekali.
Tanggapan
Apa yang mereka lakukan dan katakan barusan jelas tidak benar. Bagaimanapun juga, kejadian ini tidak lain karena terpengaruh dengan paham feminisme; mereka berkeyakinan bahwa wanita harus disetarakan dengan pria dalam segala hal, seperti berkarir, menjadi pemimpin, atau bahkan menjadi imam shalat sekalipun. Berikut kami paparkan poin-poin kesesatan statement di atas:
Feminisme Mendiskriminasi Perempuan
Tentunya, kejadian barusan tidak lain karena mereka memiliki paham feminisme. Konsep feminisme sendiri mereka suarakan untuk menentang ayat berikut ini:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (QS. An-Nisâ’ [4]: 34)
Kaum feminis selalu berkoar-koar untuk menyebarkan paham feminisme melalui penolakan ayat di atas tidak lain karena ketidakpahaman mereka terhadap sesuatu yang terkandung dalam ayat tersebut. Padahal, Islam mengedepankan pria daripada wanita bukan tanpa alasan. Islam menganggap bahwa pria lebih bisa untuk mengatur atau memimpin segala hal daripada perempuan. Pria dianggap lebih cerdas, bijak serta pemurah dalam mengurus urusan dibandingkan perempuan, hal itu bisa dilihat dari penafsiran Imam Abu Mudaffar as-Sam‘ani terhadap lafaz “Bimâ fadhdhala-llâhu ba‘dhahum ‘alâ ba‘din” dalam kitab tafsirnya.
Demikian ini, bukan berarti Islam menyepelekan wanita. justru, Islam sangat menghormati wanita. Bahkan, Islam melarang penganutnya untuk melecehkan, mempermainkan wanita apalagi mendiskriminasinya, hal ini sangat berbeda dengan prilaku orang-orang Barat, mereka dengan seenaknya melecehkan kehormatan wanita, karena bagi mereka, wanita tak ubahnya buah segar yang bisa yang bisa memuaskan nafsu birahi saja, tanpa harus menghormatinya. Oleh karena itu, Islam memerintah Kaum Hawa untuk menutup aurat, yang tidak lain agar kaum Hawa terhindar dari segala macam pelecehan.[1]
Para pendukung feminisme zaman sekarang banyak yang mengaku ingin meninggikan martabat perempuan. Padahal, mereka lupa terhadap sejarah barat dalam memperlakukan wanita pada zaman pra-modern. Orang-orang Barat yang merupakan pembentuk paham feminisme itu sendiri, justru berbuat kejam dan keji terhadap wanita. Selain itu, di bumi Arab, kelahiran para wanita sangat dibenci. Sehingga, melahirkan anak perempuan bagi mereka merupakan awal dari kematian. Padahal, realitanya wanita merupakan perantara untuk meneruskan keturunan.
Dahulu, para bayi wanita yang dilahirkan pada masa itu segera dikubur hidup-hidup. Kalaupun para wanita dibiarkan untuk terus hidup, mereka akan hidup dalam kehinaan dan tanpa kemuliaan. Sebagaimana penjelasan Surah At-Takwîr, Allah ﷻ berfirman:
وَإِذَا ٱلْمَوْءُۥدَةُ سُئِلَتْ بِاَىِّ ذَنۡۢبٍ قُتِلَتۡ
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa dia dibunuh? (Q.S at-Takwîr [81]:8-9)
Hukum non Ijtihadi tidak Dapat Berubah Sebab Zaman
Maksud hukum di sini adalah hukum yang ditetapkan melalui al-Quran atau hadits secara jelas seperti permasalahan di atas. Para Imam Madzâhibul-arba‘ah sepakat untuk melarang wanita menjadi imam bagi pria. Hal tersebut telah menjadi hukum tetap yang tidak dapat berubah. Sebab, Rasulullah sendiri secara tegas dan jelas melarang wanita untuk mengimami pria dalam sabdanya:
عَنْ جَابِرْعَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَاتَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا وَلَا أَعْرِبِيٌّ مُهَاجِرًا
Diriwayatkan dari Jabir, dari Nabi Muhammad, beliau bersabda: jangan sekali-kali wanita mengimami laki-laki, dan orang Baduwi jangan mengimami orang Muhajir.[2]
Hadits di atas menjelaskan akan ketidakbolehan wanita mengimami pria, jikalau ada, maka salatnya bisa dipastikan batal. Maka dari itu, kejadian seorang pasutri yang bergantian dalam mengimami salat, dengan beralasan hukum syariat bisa berubah mengikuti perubahan zaman, merupakan kesalahan yang sangat besar. Sebab, jika alasan tersebut diberlakukan dalam Islam, niscaya tidak akan ada syariat Islam yang tetap. Padahal, syariat Islam lah yang menjadi tolok ukur perubahan masa, bukan malah sebaliknya.
Untuk menjawab hal ini, terdapat kaidah yang berupa:
أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيفُ فَإِذَا قُلْنَا إِنَّهَا عِبَادَةٌ فَلَا بُدَّ مِنْ قَوْلِ اللَّهِ أَوْ قَوْلِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Hukum asal dalam ibadah adalah tauqîf (mengikuti ketetapan) jika kita mengatakan ibadah maka harus ada perintah dari Allah, atau Rasul-Nya[3].
Dari sini, Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Dirâsah wa Tahqîqu Qâidah al-Ashlu fil-‘Ibâdah al-Man‘u mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah mengikuti ketetapan syâri‘ (at-tauqîf).[4] Maka dari itu, tidak boleh bagi umat Islam untuk melakukan sesuatu yang tidak disyariatkan Allah. Beliau menyandingi pernyataannya dengan berdalil ayat al-Quran:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَٰٓؤُا۟ شَرَعُوا۟ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنۢ بِهِ ٱللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ ٱلْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ ٱلظَّٰلِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (Q.S As-Syûrâ [42]:21)
Maka dari itu, jika Rasulullah telah melarang perempuan untuk mengimami pria, maka hal tersebut sudah menjadi ketetapan dan tidak bisa berubah.
Beda halnya jika hukum yang ada dalam islam merupakan hukum ijtihadi; hukum yang belum disebutkan secara tegas dalam Al-Qur’an dan hadis. Maka bisa saja berubah sesuai situasi dan kondisi. misalnya, ketika sudah menjadi kebiasaan masyarakat di suatu negara bahwa yang menyewakan diwajibkan membayar nilai biaya listrik, maka dikeluarkanlah fatwa berdasarkan hal tersebut. kemudian jika adat tersebut berubah dalam artian penyewa menjadi orang yang wajib melakukannya, maka hukumnya mengikuti adal yang kedua[5].
Kesimpulannya, bahwa praktek shalat yang dilakukan oleh pasutri tersebut tidak benar. Selain karena hal tersebut berangkat dari paham feminisme, mereka juga menggap syariat yang terdapat nash sarih itu bisa berubah sesuai perkembangan zaman. Wallâhu a‘lamu bis-shawâb
Moh. Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id
[1] (QS. an-Nur [24]: 31).
[2] Bulûghul-Marâm, hal. 181
[3] Durûsus-Syaikh Muhammad Hasan Abdul-Ghaffâr, juz. 22 hal. 4
[4] Dirâsah wa Tahqîqu Qâidah al-Ashlu fil-‘Ibâdah al-Man‘u, hal. 47
[5] Usûlul-Fiqh Alladzî Lâ Yasa‘u al-Faqîha Jahluhu, hal. 471