Tradisi adalah sesuatu yang berulang-ulang dengan disengaja dan bukan terjadi secara kebetulan. Seperti yang disampaikan oleh salah satu ulama Wahabi kontemporer Saudi Arabia, Syaikh Shalih bin Ghanim as-Sadlan,
وَ فِي دُرَرِ الحُكَّامِ شَرْحِ مَجَلَّةِ اْلَاحْكَامِ الْعَدَلِيَةِ قَالَ اَلْعَادَةُ هِيَ اَلْاَمْرُ اَلَّذِيْ يَتَقَرَّرُ فِي النُّفُوْسِ وَيَكُوْنُ مَقْبُوْلًا عِنْدَ ذَوِي الطِّبَاعِ السَّلِيْمَةِ
“Dalam kitab Durar al-Hukkâm Syarh Majallatat al-Ahkam berkata; “Adat atau tradisi adalah sesuatu yang menjadi keputusan pikiran banyak orang dan diterima oleh orang-orang yang memiliki karakter yang normal.”
Ini adalah definisi yang sudah maklum di kalangan kita. Adapun melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam hal ini al-Imam Ibn Muflih al-Maqdisi al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibnu Taimiyah, berkata;
لَايَنْبَغِيْ اَلْخُرُوْجُ مِنْ عَادَةِ النَّاسِ اِلَّا فِي الْحَرَامِ
“Tidak sebaiknya kita keluar dari adat manusia kecuali adat yang diharamkan oleh agama.”
Ungkapan beliau ini menjadi dalil bagi kita bahwa orang yang meninggalkan adat dianggap kurang baik kecuali adat tersebut bertentangan dengan agama. Salah satu contoh dan bukti bahwa Islam itu cinta terhadap adat masyarakat adalah tentang dianjurkannya puasa pada tanggal sepuluh Muharram, yaitu puasa Asyura. Perlu kita ketahui bahwa puasa Asyura adalah adat orang Yahudi yang kemudian dianjurkan pula di dalam Islam setelah Rasulullah saw mendengar alasan orang Yahudi bahwa mereka berpuasa karena memperingati tentang diselamatkannya Nabi Musa as dari bala tentara Firaun. Lantas Rasulullah saw langsung menyuruh para sahabat untuk berpuasa Asyura. Penjelasan ini telah banyak disampaikan oleh para ulama Hadis dengan riwayat yang sahih. Seperti di dalam Sahih Bukhari dan Muslim. Dan ini juga menjadi dalil bahwa Islam adalah agama yang tidak mudah menolak adanya adat yang ada di kalangan masyarakat. Selama adat itu tidak bertentangan dengan Syariat, maka tidak ada larangan dalam Islam untuk mengerjakannya.
Baca juga “Rapuhnya Justifikasi Ideologi Takfirî Wahabi“
Biasanya, kalangan yang enggan menerima adanya adat yang sudah beredar di kalangan masyarakat, mereka berdalil bahwa apa yang telah dilakukan oleh masyarakat itu tidak ada pada zaman Rasulullah saw. Jadi lebih baik ditinggalkan karena hal itu termasuk bidah dhalalah yang mendapat ancaman neraka bagi pelakunya. Ini adalah ungkapan yang cukup sering mereka lontarkan. Padahal para ulama bahkan para sahabat tidaklah memahami adat dengan pemahaman sesempit itu. Buktinya, Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua rakaat qabliyah maghrib karena adatnya salat itu tidak dilakukan oleh orang-orang. Seperti perkataan Imam Ibnu Muflih;
وَذَكَرَ فِي الْفُصُوْلِ عَن الرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغَرِبِ وَفِعْلِ ذَالِكَ اِمَامُنَا اَحْمَدَ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْتُ النَّاسَ لَايَعْرِفُوْنَهُ
“Di dalam kitab al-Fushûl disebutkan tentang dua rakaat sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.”
Ini adalah bukti bahwa umat Islam sejak generasi salaf jauh lebih menjaga akan ketenangan hati masyarakat dengan cara mudah beradaptasi dengan adat masyarakat. Bukan malah membuat gaduh dengan mengatakan itu tidak ada pada zaman Rasulullah saw dll.