Ada banyak sekali cerita menarik tentang Nabi Khidir yang sering kita dengar dari guru-guru surau dulu. Mulai yang bersumber dari al-Quran, seperti kisah beliau dengan Nabi Musa ataupun dari hadis, seperti kisah beliau saat menjadi salah satu bala tentara Raja Dzulqarnain yang diberi tugas untuk mencari ‘Air Keabadian’ dan lain sebagainya. Semua ini terpatri di pikiran kita hingga akhirnya pada zaman milenial ini mulai ditemukan golongan akademis yang menyangsikan kenabian beliau. Mereka berpikir bahwa dengan adanya Nabi Muhammad ﷺ sebagai Nabi terakhir, maka tidak ada sedikit pun peluang bagi Nabi Khidir untuk berpredikat Nabi. Lantas, bagaimana cara kita—selaku Muslim Ahlussunah wal Jamaah—menyikapinya?.
Banyak perbedaan pendapat tentang nama asli Nabi Khidir ini, tetapi pendapat yang masyhur di antara semua pendapat itu mengatakan bahwa nama asli beliau adalah Balya bin Malkan. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa beliau dijuluki dengan nama Khidir karena saat beliau duduk di padang yang gersang, maka pada saat itu pula muncul banyak tumbuhan hijau di belakang beliau. Di sisi lain, al-Imam al-Khaththâbi berpendapat bahwa alasan disematkannya nama al-Khidir pada beliau adalah karena perawakan beliau yang tampan nan rupawan.
Nabi Khidir memanglah seorang Nabi yang terkenal sangat low profile dan itulah yang membuka ladang khilaf mengenai pribadi beliau. Saking misteriusnya, ada saja kaum yang berpendapat bahwa beliau bukanlah manusia, tetapi seorang malaikat yang diutus ke bumi oleh Allah ﷻ dengan penampilan bagaikan manusia tulen. Pendapat ini jelas ditentang oleh banyak ulama. Adapun di antara yang menentang ialah al-Imam an-Nawâwî dalam Fatâwî-nya dan al-Imam Ibnu Katsîr dalam Tafsirnya.
Untuk masalah kenabian Nabi Khidir, banyak ulama yang masih pro-kontra, karena memang tidak ditemukan dalil konkret yang menunjukkan bahwa beliau adalah Nabi, begitu pun sebaliknya. Sebagian alasan mereka yang mengatakan bahwa Nabi Khidir bukanlah Nabi adalah eksistensi Nabi Muhammad ﷺ yang notabene merupakan Nabi terakhir sekaligus penutup para Rasul. Beliau ﷺ bersabda; “Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku.” (HR. Abu Dawud).
Baca Juga; Apakah Nabi Khidir Masih Hidup ?
Dalam kitab Fâtâwa Li Ibni Taimiyah terdapat jawaban yang membantah pendapat di atas serta menjelaskan secara gamblang tentang hal ini. Berikut nash ibaratnya;
مَنْ قَالَ إنَّهُ نَبِيٌّ: لَمْ يَقُلْ إنَّهُ سُلِبَ النُّبُوَّةَ؛ بَلْ يَقُولُ هُوَ كَإِلْيَاسَ نَبِيٌّ؛ لَكِنَّهُ لَمْ يُوحَ إلَيْهِ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ وَتَرْكُ الْوَحْيِ إلَيْهِ فِي مُدَّةٍ مُعَيَّنَةٍ لَيْسَ نَفْيًا لِحَقِيقَةِ النُّبُوَّةِ كَمَا لَوْ فَتَرَ الْوَحْيُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَثْنَاءِ مُدَّةِ رِسَالَتِهِ
“Ulama yang mengatakan bahwa Khidir adalah Nabi itu berdalih bahwa kenabian beliau tidak dicabut. Baliau adalah Nabi, layaknya Nabi Ilyas (dalam segi sama-sama tidak menerima wahyu). Hanya saja, beliau sudah tidak menerima wahyu. Hal ini tidak menafikan hakikat kenabian, sebagaimana Nabi Muhammad ﷻ yang pernah tidak menerima wahyu di masa hidup beliauﷺ.”.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa beliau adalah Nabi, di antaranya adalah istinbat yang dilakukan oleh al-Hâfiz al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalâni dari kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa yang termaktub dalam Surah al-Kahfi. Dalam surah tersebut diceritakan bahwa Nabi Mūsa diberi petunjuk oleh Allah ﷻ untuk mencari dan belajar ilmu dari salah satu hamba-Nya yang ternyata lebih alim dari Nabi Mūsa, tetapi kemudian di tengah-tengah rihlah mereka berdua, Nabi Khidir melakukan banyak hal yang dianggap tidak masuk akal oleh Nabi Mūsa seraya berkata; “… Aku melakukan (tiga peristiwa) itu bukan atas kehendakku sendiri. Demikian itu tafsiran dari apa yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya.”.
Menurut al-Imâm Ibnu Hajar al-Asqalâni terdapat dua poin penting yang dapat diambil dari keterangan di atas; Pertama, perintah Allah ﷻ kepada Nabi Musa untuk belajar kepada Nabi Khidir secara tidak langsung menetapkan bahwa Nabi Khidir lebih alim dari Nabi Musa dan sangat tidak masuk akal andaikan ada orang yang berstatus bukan Nabi, tetapi kapasitas keilmuannya lebih alim daripada nabi. Kedua, dalih Nabi Khidir yang mengatakan bahwa semua yang beliau lakukan bukanlah berasal dari keinginan hati beliau diarahkan oleh para Mufasir sebagai wahyu yang Allah ﷻ turunkan pada Nabi Khidir dan sudah maklum bahwa seseorang yang bukan nabi tidak akan pernah bisa menerima wahyu. Wallâhu a’lam bis-Shâwab.
Ahmad Kholil | Annajahsidogiri