Akhir-akhir ada sebuah kelompok yang menggaungkan sebuah ‘bidah’ parah, yaitu mengaku mampu berijtihad langsung dari al-Quran dan Sunah tanpa perlu merujuk dan ikut pendapat ulama salaf. Mereka mengatakan, “Kita tidak perlu mengambil pendapat dari para Imam Mazhab, karena mereka juga sama seperti kita, bisa salah. Langsung saja kita merujuk langsung pada al-Qur’an dan Hadis Nabi saw”.
Ungkapan tersebut memang tidak salah, mengajak kembali ke al-Qur’an dan Hadis. Karena keduanyalah muara seluruh hukum Islam. Akan tetapi tunggu dulu, menggali hukum langsung dari al-Quran dan hadis tidak semudah kata penganut anti mazhab.
Syaikh Amin al-Kurdi berkomentar, “Orang yang enggan bertaklid, lalu mengatakan, saya akan mengamalkan apa yang ada di dalam al-Quran dan hadis –dia mengaku mampu memahami hukum-hukum langsung dari kedua sumber itu-, bukanlah orang yang selamat. Justru dia akan menjadi orang yang salah, sesat dan bahkan menyesatkan.” Naudzubillah.
Menggali hukum (istinbathul ahkam) membutuhkan kelengkapan perangkat ijtihad yang kompleks. Di bidang hadis saja misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya; “Wahai Imam Ahmad, Apakah hafal 100 ribu hadis beserta sanadnya dianggap cukup bagi seseorang untuk berijtihad?”, “Belum cukup!” jawab Imam Ahmad. “Kalau 200 ribu?”orang itu bertanya lagi. “Masih belum!” jawab beliau. “Kalau 300 ribu?” penanya masih bertanya lagi. “Belum!” kata Imam Ahmad. “Kalau 400 ribu?” lanjutnya. “Sepertinya cukup” beliau menjawab. Itu baru seputar hadis. Tentu, berijtihad tidaklah cukup dengan penguasaan hadis saja. ada banyak hal lain yang mesti dikuasai supaya mendapat kewenangan mengambil hukum langsung dari al-Quran dan Hadis. Bisa dibayangkan. Betapa sulitnya.
Kita tidak mungkin bisa memahami syariat tanpa ulama salaf. Al-Quran tidak bisa kita pahami hanya dengan membaca terjemahannya. Begitu pun hadis. Al-Qur’an serta Hadis memiliki sisi yang kadang terlihat kontradiktif. Maka kemudian di situlah peran ulama yang membantu kita memahami dan memadukan satu dalil dengan dalil yang lain. Mereka menyajikan fikih, bukan sebagai tandingan Qur’an dan hadis Nabi, tapi untuk mempermudah umat dalam memahami syariat Islam tanpa perlu bersusah payah menggali langsung dari al-Quran dan hadis.
Sahabat pun bermazhab. Dari 124 ribu shahabat Nabi Muhammad saw -sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Khashais al-Kubra ada sekitar 130 sahabat saja yang mendapatkan rekomendasi dari Nabi untuk dimintai fatwa dan dijadikan rujukan hukum. Sedangkan sahabat lain yang merasa tidak mampu meng-istinbath hukum, serta belum pernah mendengar hukum sebuah kejadian dari Nabi secara langsung, mereka akan bertanya dan bertaklid kepada para shahabat yang direkomendasikan Nabi untuk dimintai fatwa itu, di antaranya adalah shahabat Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Ibnu Abbas, Sayyidina Ali dan shahabat-shahabat yang lain.
Allah berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [النحل/43]
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
Al-Quran memerintah kita bertanya pada para ahli ketika menjumpai permasalahan agama, bukan memerintahkan kita mencari jawaban langsung kepada al-Quran dan hadis. Wallahu A’lam