رُبَّمَا اَطْلَعَكَ عَلَى غَيْبِ مَلَكُوْتِهِ وَحَجِبَ عَنْكَ الْإِسْتِشْرَاقُ
“Ada kalanya Allah ungkap rahasia langit untukmu, sementara itu isi hati manusia tertutup rapat bagimu”
(Ibnu Athaillah as-Sakandari)
Terkadang, manusia oleh Allah Swt. dianugerahi nikmat besar berupa pengetahuan tentang rahasia-rahasia agung kekuasaan-Nya, seperti melihat surga, neraka, arsy, alam malakut dan hal abstrak lain yang menakjubkan. Namun riskannya, rahasia kecil dan sepele yang terkubur dalam lubuk sanubari justru tidak terjangkau. Ada apa gerangan? Peristiwa sepele tidak mampu digapai di saat hal besar mudah diraih?
Sejatinya, hal luar biasa seperti melihat surga dan neraka adalah bagian dari mukâsyafah. Menyaksikan peristiwa gaib dengan mata telanjang merupakan keajaiban besar yang hanya dianugerahkan kepada mereka yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi, mukâsyafah semacam ini bukanlah mukâsyafah yang dituju para sâlik dalam pendakiannya menuju Hadratillah. Mukâsyafah ini esensinya adalah cobaan yang berpotensi membelokkan hati dari setapak suluk dan menyeretnya keluar dari rute wushul. Maka, bagi sâlik yang tengah menempuh perjalanan jauh menuju Hadratillah, jangan sampai berhenti di tengah jalan lantaran tertipu oleh keajaiban supra natural. Ia harus terus kontinu melangkah sampai betul-betul merenggut mukâsyafah hakiki meliputi tiga aspek fundamental; tajallish-shifah, asmâ’, dan dzât.
Selain itu, mukâsyafah ini juga bukan pertanda kemuliaan si empunya. Walau hal itu terbilang luar biasa dan melawan derus arus istiadat, akan tetapi tidak merefleksikan pemiliknya sebagai pribadi super power berpangkat tinggi di sisi Sang Kuasa. Karena keistimewaan semacam ini bukanlah identitas shâlihin dan kekasih Allah Swt. Melainkan, anugerah yang murni diberikan-Nya kepada siapa saja yang dipilih-Nya. Oleh karena itu, orang jahat sekalipun bisa saja menuai nikmat ini. Hanya saja realita yang ada, rahmat ini biasanya diterima oleh hamba spesial dengan segudang prestasi.
Baca Juga : Memahami Jihad dengan Benar
Adapula orang biasa-biasa, bisa juga dibilang durhaka kepada Allah Swt. justru kebagian anugerah ini. Contoh konkretnya adalah kisah masyhur tentang seorang pencuri yang menyelinap masuk ke rumah Syekh Abdul Qadir al-Jilani Ra. Al-kisah, seorang Nasrani bermaksud mencuri di rumah Syekh Abdul Qadir al-Jilani Ra. Saat rumah kosong tak berpenghuni, si Nasrani masuk dengan diam-diam. Apesnya, ketika hendak beraksi, tiba-tiba Syekh Abdul Qadir Ra. memasuki rumah. Spontan si Nasrani langsung bersembunyi di kolong tempat tidur. Syekh Abdul Qadir Ra. yang mengendus kehadiran maling di rumahnya, bukannya mengadili atau mengusir si maling, malah mendoakannya supaya menjadi seorang wali. Benar saja maling Nasrani itu langsung diangkat sebagai wali abdal sesuai doa sang waliyullah.
Kisah ini adalah bukti bahwa keistimewaan seperti ini murni karunia dari Allah Swt.; tidak dapat diusahakan, diintervensi ataupun ditirakati guna menggapainya. Karena itu, apabila ketepatan di antara kita mendapat anugerah ini, secepatnya sadar diri kalau hakikat keajaiban itu dari Allah Swt. agar terhindar dari bisikan setan terkutuk yang berusaha menjebloskan anak Adam pada nestapa pembanggan diri dan takabur. Dan dengan demikian, kita telah memosisikan sesuatu pada tempatnya. Bukankah manusia memang tidak akan kuasa melakukan hal ajaib seperti itu?
Kemampuan Membaca Hati Para Wali
Namun anehnya, ketika rahasia agung yang terkandung dalam perut langit dan bumi berhasil diungkap, rahasia yang kurang sensasional dan fantastik justru terjaga dari pengetahuan. Mata tajam yang tembus pandang, berkelana hingga lapisan langit ketujuh, malah tumpul kala berhadapan dengan hati manusia. Seperti kita tahu hati adalah gudang misteri. Di sana tersimpan jutaan rahasia. Secara naluri akal, kalau rahasia langit dan bumi saja bisa diungkap, apalagi hanya rahasia manusia yang terkubur dalam hati. Apalah arti misteri manusia dibanding misteri agung kerajaan Sang Khalik. Namun ternyata, Allah Swt. menghendaki berbeda. Dia beber rahasia akbar sementara rahasia kecil Dia sembunyikan. Dia berkenan menyingkap tabir misteri alam malakut, tetapi menjaga ketat alam sanubari insani. Kenapa begitu?
Jawabannya sebagaimana diurai oleh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kalam hikmah berikutnya adalah karena kemampuan mendeteksi dan mendikte bisikan dan isyarat hati, sementara diri tak berhias perangai suci belas kasih sejati mereduksi skil itu menjadi sebuah musibah. Setidaknya, terdapat dua alasan mengapa hal itu dikatakan sebagai sebuah musibah. Pertama, keahlian membaca hati orang lain sedang diri tidak bergelimang rahmat Ilahi mengantarkan hati ke gerbang kehancuran. Alasannya jelas karena hal itu akan memicu diri untuk berbangga hati kepada orang lain, merasa dirinya hebat, dan takjub dengan apa yang bisa dilakukannya. Padahal, jelas sekali perangai-perangai seperti ini adalah akhlak tercela yang harus kita jauhi.
Baca Juga : Menjadi Sufi Berduit
Kedua, keahlian itu bisa menjadi sumber malapetaka. Pribadi yang tak bertahtakan rahmat ilahiyah kemudian dianugerahi kemampuan membaca hati, besar sekali kemungkinan ia terjerumus pada jurang nestapa. Bisa-bisa ia mendaku bersifat layaknya Tuhan dan berlagak seolah penguasa. Ringkasnya, Allah Swt. tidak memberikan kemampuan untuk membaca hati karena manusia belum siap memikul anugerah agung itu sehingga rentan menyalahgunakannya. Sebab, skil ini mesti diimbangi dengan perasaan iba dan kasih sayang luar biasa yang dalam bahasa Ibnu Athaillah disebut sebagai rahmat ilahiyah, seperti merahasiakan kelakuan pendosa, mengasihi orang zalim, membalas kebaikan terhadap orang yang berbuat jahat, dan menyayangi seluruh hamba Allah Swt.
Karena saking beratnya persyaratan untuk menstabilkan diri kala dianugerahi kemampuan ini, Nabi Ibrahim as. pun tidak lulus seleksi dan berbuah teguran dari Ilahi. Ketika Allah Swt. menyingkap rahasia-rahasia langit dan bumi untuk Nabi Ibrahim as., Allah Swt. memperlihatkan perilaku pelaku maksiat kepadanya. Nabi Ibrahim as. lalu mendoakan celaka orang itu dan doa beliau langsung dikabulkan oleh Allah Swt. karena beliau adalah hamba yang doanya mustajab. Hal itu berulang hingga beberapa kali sampai Allah Swt. menegurnya agar tidak mendoakan celaka hamba-Nya yang durhaka. Allah Swt. berfirman bahwa meskipun seorang hamba durhaka, masih ada tiga kemungkinan yang bisa dipetik darinya; dia bertaubat, keturunannya saleh, atau dosanya dibawa hingga hari pembangkitan dan nasibnya di tangan Allah Swt.; diampuni lalu dihadiahi surga atau disiksa dengan dijebloskan ke api neraka.
Annajahsidogiri.id