Pada artikel sebelumnya, kami telah memaparkan beberapa dalil dalam Al-Quran mengenai keberadaan Allahﷻ. Pada kesempatan ini, kami akan melanjutkan pembahasan sebelumnya dengan menyebutkan beberapa dalil inti yang dapat kita gunakan untuk menolak pandangan kaum empiris. Mereka mengatakan keberadaan Allah ﷻ merupakan doktrin agama yang tidak bersifat rasional. Semoga kita terhindar dari pemikiran sesat ini
- Dalil kausalitas (sebab akibat)
Dari sekian dalil yang kami sebutkan sebelumnya, dalil satu ini merupakan dalil paling konklusif yang bisa membantah ideologi kaum empiris. Dan dari dalil inilah empat dalil sebelumnya dapat disimpulkan.
Sebagaimana keterangan sebelumnya, setiap hal yang begitu teratur dan kompleks tidak mungkin terjadi begitu saja, akan tetapi, di balik itu pasti terdapat sebuah eksistensi yang mengaturnya.
Baca juga: Matinya kepakaran dalam ilmu agama
Keberadaan tuhan memang tidak bisa diingkari tapi bisa dibuktikan secara rasional dengan hukum kausalitas, dan hukum kausalitas bukanlah hukum indrawi. Every effect must have a cause demikian perkataan David Hume dalam bukunya yang berjudul A Treatise of Human Nature (1739-1740). Ia merupakan seorang filsuf asal skotlandia yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikiran filsafat barat.
Kita memang tidak mengingkari bahwa panca indra merupakan sarana yang bisa menghantarkan sesuatu kepada rasio. Namun, pengantar terhadap rasio bukan hanya indrawi, termasuk juga akal dan Khabar Shadiq (berita yang dibawa oleh orang yang terpercaya), sebagaimana keterangan dalam kitab lawâmi’ul-anwâr, berikut redaksinya:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ أَسْبَابَ الْعِلْمِ ثَلَاثَةٌ: الْحَوَاسُّ السَّلِيمَةُ وَالْخَبَرُ الصَّادِقُ وَالْعَقْلُ، وَوِجْهَةُ الْحَصْرِ أَنَّ السَّبَبَ إِنْ كَانَ مِنْ خَارِجٍ فَالْخَبَرُ الصَّادِقُ، وَإِلَّا فَإِنْ كَانَ آلَةً غَيْرَ الْمُدْرَكِ فَالْحَوَاسُّ وَإِلَّا فَالْعَقْلُ – وَإِنْ كَانَ الْمُؤَثِّرُ فِي الْعُلُومِ كُلِّهَا فِي الْحَقِيقَةِ هُوَ اللَّهُ تَعَالَى، لِأَنَّهَا بِخَلْقِهِ وَإِيجَادِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Premis yang dapat kita bangun untuk menyimpulkan problematika ini adalah konsep temporalitas alam (burhan al-imkan). Alam ini bersifat mungkin (mumkin), artinya ia bisa ada atau tidak ada. Oleh karena itu, alam memerlukan sesuatu yang membuat keberadaannya menjadi mungkin. Jika “sesuatu” tersebut adalah sesuatu yang niscaya (wajibul wujud), maka ia adalah Tuhan (Allah). Namun, jika “sesuatu” tersebut juga bersifat mungkin (mumkinul wujud), maka pertanyaan yang sama harus diulang: apa yang menjadikannya mungkin? Proses ini, jika terus berlanjut tanpa ujung, akan mengarah pada regresi tak terbatas (tasalsul), yang merupakan hal mustahil secara logis. Demikian keterangan dalam kitab al-Kalam al-Matin fi Tahlil al-Barahin.
Semua kaum madzhab ilmiah sepakat menolak Spontaneous generation (munculnya sesuatu atas dasar kebetulan) mulai dari ilmuwan agama, filsuf klasik, ilmuwan modern, hingga kaum ilmuwan ateistik.
Kita ambil contoh saja pemikiran rasionalitas yang diusung oleh kaum liberal, Descrates (tokoh paham rasionalitas) berpandangan bahwa sebuah ilmu pengetahuan harus bersumber dari akal, bukan pengalaman indrawi, mitos, dan wahyu dalam mencari kebenaran, tujuan dari Descrates adalah untuk lepas dari diskriminasi gereja yang memakai agama sebagai dalih dan tameng untuk melakukan perbuatan tercela, mereka berkeyakinan bahwa dalam berfilsafat harus dilandaskan dengan iman sebagaimana dipopulerkan oleh tokoh Kristen Anselmus dalam tulisannya jargon credo ut intelligam yang artinya aku percaya maka aku mengerti, oleh karena itu Descrates menyusun sebuah metodologi berpikir untuk menolak pemikiran tersebut yang dikenal dengan le doute methodique (metode keraguan), Pertama-tama ia mencoba menguji kemampuan panca indera dalam menerima sebuah objek secara benar. Dari percobaan tersebut Descrates berkesimpulan bahwa panca indera memiliki kekurangan dan batasan dalam mengungkapkan sesuatu dengan benar. Dari sana Descrates sadar bahwa anggota tubuhnya sendiripun sebenarnya layak untuk diragukan dan bisa salah dalam menangkap suatu ilmu secara benar, mulai dari sanalah Descrates mulai mempertanyakan segala hal dan mulai meragukannya, hingga Descrates berkesimpulan bahwa “karena saya ragu, maka saya berfikir, karena saya berfikir maka saya ada, karena saya ada maka tuhan ada, dan orang lainpun ada” dari sinilah lahir metode cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) yang menjadi landasan pemikiran dari aliran rasionalisme yang mengedepankan akal dan pemikiran manusia sebagai sumber utama.
Baca juga: Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (1/2)
Dari artikel ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa semua madzhab ilmiah mengakui adanya kausalitas, dan semua ujung dari kausalitas membuktikan keberadaan Allah ﷻ. Meskipun demikian, terdapat sebagian pihak yang mengingkarinya, seperti kaum empirisme yang telah disinggung dalam artikel ini. Meskipun mereka menolak sumber pengetahuan yang berasal dari selain pengalaman indrawi, mereka tetap mengakui keniscayaan kausalitas, sebagaimana diungkapkan oleh David Hume dalam bukunya A Treatise of Human Nature. Hume berpendapat bahwa hukum kausalitas hanyalah hasil dari kebiasaan atau pengalaman yang berulang, bukan suatu pengetahuan yang dapat dibuktikan secara logis. Kendati demikian, ia tetap mengakui prinsip kausalitas, meskipun cara pandangnya terhadap hal tersebut kurang tepat.
Salman Ar-Ridlo | Annajahsidogiri.id