
Kehadiran sang buah hati merupakan hal yang sangat dinanti-nanti oleh pasangan suami istri. Kelahirannya adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi mereka yang baru membangun rumah tangga. Dalam merayakan kebahagiaan ini, kadang kala sepasang suami istri akan mengadakan acara selamet–an yang diistilahkan dengan ‘mitoni’.
Ritual ini sudah menjadi tradisi yang mengakar kuat pada sebagian masyarakat Indonesia, lebih-lebih masyarakat Jawa. Biasanya tradisi ini diisi dengan pembacaan beberapa surah al-Quran tertentu seperti surah Luqman, Yusuf dan Maryam serta salawat, lalu ditutup doa untuk calon buah hati. Tradisi ini dilakukan ketika masa kandungan mencapai 3, 4 dan 7 bulan.
Baca juga: Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (2/2)
Namun, sepertimana pada umumnya, tradisi seperti ini juga tidak dilakukan oleh kelompok Wahabi. Beralasan bahwa hal tersebut tidak memiliki dalil yang dicontohkan Rasulullah semasa hidupnya seta termasuk bidah.
Perlu diketahui bahwa dalam al-Quran sendiri, berdoa untuk bayi semasa berada di dalam kandungan sudah pernah dicontohkan oleh nabi Adam dan sayidatuna Hawa. Begitupun dalam hadis, Imam al-Baihaqi dalam kitab Dala’il an-Nubuwwah meriwayatkan hadis sebagai berikut.
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ اِلَيْهَاۚ فَلَمَّا تَغَشّٰىهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيْفًا فَمَرَّتْ بِهٖۚ فَلَمَّآ اَثْقَلَتْ دَّعَوَا اللّٰهَ رَبَّهُمَا لَىِٕنْ اٰتَيْتَنَا صَالِحًا لَّنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ
“Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan darinya Dia menjadikan pasangannya agar dia cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Kemudian, setelah ia mencampurinya, dia (istrinya) mengandung dengan ringan. Maka, ia pun melewatinya dengan mudah. Kemudian, ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, Sungguh, jika Engkau memberi kami anak yang saleh, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. al-A’raf: 189)
Anjuran mendoakan kandungan dalam hadis
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ لِأُمِّ سُلَيْمٍ مِنْ أَبِي طَلْحَةَ ابْنٌ فَمَرِضَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، فَلَمَّا مَاتَ غَطَّتْهُ أُمُّهُ بِثَوْبٍ فَدَخَلَ أَبُو طَلْحَةَ فَقَالَ: كَيْفَ أَمْسَى ابْنِي؟ قَالَتْ: أَمْسَى هَادِئًا، فَتَعَشَّى ثُمَّ قَالَتْ لَهُ فِي بَعْضِ اللَّيْلِ: أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا أَعَارَكَ عَارِيَةً ثُمَّ أَخَذَهَا مِنْكَ إِذًا جَزِعْتَ؟ فَقَالَ: لَا، فَقَالَتْ: فَإِنَّ اللهَ أَعَارَكَ ابْنَكَ، وَقَدْ أَخَذَهُ مِنْكَ، قَالَ: فَغَدَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ بِقَوْلِهَا، وَقَدْ كَانَ أَصَابَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَارَكَ اللهُ لَكُمَا فِي لَيْلَتِكُمَا» ، قَالَ: فَوَلَدَتْ لَهُ غُلَامًا كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللهِ، قَالَ: فَذَكَرُوا أَنَّهُ كَانَ مِنْ خَيْرِ أَهْلِ زَمَانِهِ
“Anas bin Malik berkata: ‘Ummu Sulaim memiliki seorang putra dari Abu Tholhah, pada suatu saat putra itu jatuh sakit hingga meninggal dunia. Namun, sang ibu menutupinya dengan sebuah kain (tidak memberitahu Abu Tholhah; suaminya).’ Ketika Abu Tholhah datang, dia berkata, ‘Bagaimana keadaan anakku?.’ Ummu Sulaim menjawab, ‘dia sekarang dalam keadaan tenang.’ Lalu Abu Tholhah makan malam. Lalu Ummu Sulaim bertanya pada malam itu, ‘apa pendapatmu tentang seseorang, seandainya dia memberimu pinjaman, lalu orang itu ingin mengambilnya lagi, apakah kamu akan resah?.’ Abu Tholhah menjawab, ‘tidak’ Ummu Sulaim melanjutkan, ‘sungguh Allah telah meminjamkan seorang anak kepadamu dan sekarang dia telah mengambilnya darimu.’ Pagi harinya, Abu Tholhah bergegas menemui Rasulullah dan menceritakan kejadian itu, termasuk hubungan (bersetubuh) dengan Ummu Sulaim. Kemudian Nabi bersabda: ‘semoga Allah memberkati malam kalian.’ Ternyata Ummu Sulaim melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdullah. Orang-0rang menyebutnya sebagai manusia terbaik dimasanya.”[1]
Baca juga: Kesunahan Selametan Haji
Demikian, dapat kita tangkap bahwa tradisi mitoni ini tidak seperti apa yang dikatakan oleh kelompok sebelah. Meski tidak sama persis, setidaknya sudah memeliki dasar yang kuat dalam syariat. Wallahu a’lam
Lubbil labib | annajahsidogiri.id
[1] Al-Baihaqi, dala’il an-Nubuwah, juz.6 hal.198 jamiul kutub islamiyah