Menyaksikan fenomena perang pemikiran ternyata tidak hanya kita temukan di masa modern ini. Pada zaman dahulu, sekitar tahun 400 H, pun sudah menjadi masa masif untuk berbagai pemikiran, baik pemikiran itu sesuai dengan koridor ajaran agama Islam maupun tidak. Hal itu dapat kita teropong melalui sumber sejarah yang menyatakan bahwa salah satu sekte yang terlibat dalam perang pemikiran tersebut adalah Muktazilah.
Yaitu sekte yang sangat menjunjung tinggi penggunaan akal (rasio) sehingga mereka melampaui batas dan tidak menempatkannya sesuai dengan proposionalnya. Mungkin, salah satu yang telah kita kenal dari propaganda mereka adalah as-shalah wal-Ashlah (salah satu ideologi yang menyatakan bahwa Allah ﷻ wajib berbuat baik), sehingga mereka menyajikan sebuah pemikiran bahwa mengutus para Rasul adalah wajib secara akal, karena hal tersebut adalah suatu yang maslahat dari Allah ﷻ untuk umat manusia.
Dan saat kita lihat lagi, ada juga kelompok yang mengebiri peran akal, yaitu Hasyawiyah, sehingga dari perseteruan kelompok yang menuhankan akal dan yang menyia-nyiakannya, lahirlah kelompok yang menengah-nengahi antara keduanya, dan di kemudian hari kita kenal kelompok tersebut sebagai kelompok moderat.
Dan yang tak kalah penting untuk dibahas di sini adalah sekte Barahimah, yaitu sebuah sekte pengingkar terutusnya para nabi yang dinisbatkan dan dipelopori oleh seseorang bernama Barahim. Sebagian orang menyangka bahwa sekte ini diafiliasikan pada Nabi Ibrahim. Dan jelas hal itu sangatlah keliru, bagaimana bisa suatu golongan dinisbatkan pada oknum tertentu, Ibrahim misalkan yang merupkan seorang nabi, sedangkan golongan tersebut mengingkari esensi kenabian itu sendiri.
Seperti dijelaskan barusan, bahwa sekte Barahimah adalah pengingkar kenabian. Pengingkaran tersebut sama halnya dengan Muktazilah dalam berlandaskan akal, namun Muktazilah sangking terlalu berlebihan menggunakan akal hingga mewajibkan terutusnya seorang Rasul yang merupakan bagian dari as-Shalah wal-Ashlah, sedangkan Barahimah sangking berlebihannya hingga menganggap terutusnya seorang rasul adalah suatu hal yang mustahil. hal itu karena terdapat sebagian alasan yang kami ulas dari kitab al-Milal wa an-Nihal (hal.507-508), di antaranya adalah;
Pertama, (menurut mereka) Apa yang dibawa oleh Nabi tidak terlepas dari salah satu dari dua hal: Masuk akal atau tidak masuk akal. Jika masuk akal, maka akal kita sudah cukup untuk merealisasikannya dan mencapainya, maka apa perlunya kita menerima risalahnya? Jika tidak masuk akal, maka tidak bisa diterima, karena menerima sesuatu yang tidak masuk akal adalah di luar batas kemanusiaan dan masuk ke dalam wilayah kebinatangan.
Kedua, Akal telah menunjukkan bahwa dunia ini memiliki pencipta yang bijaksana. Orang yang berakal tidak menyembah apa yang menjijikkan bagi akal mereka, sedangkan para ahli syariat (Nabi) menerima hal-hal yang menjijikkan bagi akal: Menuju rumah tertentu dalam ibadah (qashdul-bait), tawaf di sekelilingnya, mencari, melempar jumroh, ihram, talbiyah, mencium batu yang tuli, menyembelih hewan, mengharamkan apa yang dapat menjadi makanan bagi manusia, dan menganalisis apa yang dapat mengurangi strukturnya dan seterusnya, semua hal tersebut bertentangan dengan masalah-masalah akal.
baca berikut: Mengurai Tuduhan Al-Quran Pluralisme
Ketiga, Akal telah menunjukkan bahwa Allah ﷻ Maha Bijaksana, dan orang yang bijaksana hanya menyembah apa yang ditunjukkan oleh akalnya. Bukti-bukti akal telah menunjukkan bahwa dunia ini memiliki Pencipta yang bijaksana, mahatahu, mahakuasa, dan bahwa Dia telah menganugerahkan nikmat-nikmat kepada hamba-hambanya yang patut disyukuri. Maka kita melihat tanda-tanda ciptaan-Nya dengan akal kita dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Jika kita mengenal-Nya dan bersyukur kepada-Nya, maka kita layak mendapatkan pahala-Nya, dan jika kita mengingkari-Nya dan mendustakan-Nya, maka kita layak mendapatkan siksa-Nya, maka mengapa kita harus mengikuti manusia seperti kita? Jika dia memerintahkan kita untuk melakukan apa yang telah kita sebutkan tentang ilmu dan syukur, maka kita telah menafikannya dengan akal kita, dan jika dia memerintahkan kita untuk melakukan yang sebaliknya, maka perkataannya adalah bukti nyata kebohongannya.
Inti dari alasan-alasan tersebut adalah, bahwa setiap kebaikan dan keburukan seharusnya sudah bisa dinilai dengan akal, sehingga dalam hal ini, tidak perlu ada campur tangan dari seorang manusia yang disebut Nabi atau Rasul. Maka sudah sangat jelas dan tanpa diragukan lagi, bahwa golongan ini adalah lagi bukan lagi dari agama Islam alias kafir. Sebab, orang yang mengingkari dan mendustakan nabi berarti pada hakikatnya adalah mengingkari Allah ﷻ, meskipun ia tidak bertujuan demikian. Kenapa begitu? Sebab yang memerintah dan mengutus nabi adalah Allah ﷻ. Maka tidak heran jika dalam melafalkan kalimat syahadat seseorang yang hendak masuk Islam haruslah juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah ﷻ.
Kebanyakan dari argumen mereka mengatakan bahwa nabi hanyalah seorang manusia yang dianggap tidak ada keistimewaan padanya. Lalu, dari sini, apakah mereka menginginkan sosok utusan dari kalangan malaikat yang kemudian mereka mau menerima apa yang disampaikan oleh utusan tersebut. Maka di sini para pembaca tidak perlu kaget, bahwa pengingkaran terutusnya seorang Rasul disebabkan mereka adalah manusia, itu sebenarnya telah ada di zaman Nabi Muhammad ﷺ, bahkan para nabi sebelumnya. Sehingga turunlah ayat QS. al-Isra [17]: 94-95 yang berbunyi;
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ اَنۡ يُّؤۡمِنُوۡۤا اِذۡ جَآءَهُمُ الۡهُدٰٓى اِلَّاۤ اَنۡ قَالُـوۡۤا اَبَعَثَ اللّٰهُ بَشَرًا رَّسُوۡلًا ٩٤
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk datang kepadanya, selain perkataan mereka, “Mengapa Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?”
قُلْ لَّوۡ كَانَ فِى الۡاَرۡضِ مَلٰۤٮِٕكَةٌ يَّمۡشُوۡنَ مُطۡمَٮِٕنِّيۡنَ لَـنَزَّلۡنَا عَلَيۡهِمۡ مِّنَ السَّمَآءِ مَلَـكًا رَّسُوۡلًا ٩٥
Katakanlah (Muhammad), “Sekiranya di bumi ada para malaikat, yang berjalan-jalan dengan tenang, niscaya Kami turunkan kepada mereka malaikat dari langit untuk menjadi rasul.” (QS. AL-Isra [17]: 94-95)
Padahal jika mereka mau menggunakan akalnya dengan benar, mereka akan mengetahui bahwa di antara hikmah terutusnya Rasul dari kalangan manusia sendiri adalah agar memudahkan komunikasi antara keduanya yaitu Rasul dan objek yang dituju. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh kebanyakan ulama ahli tafsir dalam menganggapi ayat di atas, di antaranya adalah al-Imam Jalaluddin al-Mahalli.[1]
Dari semua pemaparan di muka, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pergerakan kelompok ini sangat berbahaya, terlebih bagi orang-orang yang sangat menjungjung tinggi peran akal. Jika seseorang setingkat nabi saja sudah dilecehkan apalagi para Ulama yang pewaris dari keilmuan nabi. Wal ‘Iyadzu Billah.
Moch Rizky Febriansyah | Annajahsidogiri.id
[1] Jalaluddin al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, kairo; dar al-Hadis, hal.376