Masalah lain yang ditimbulkan oleh teknologi informasi, baik itu internet, media sosial, atau kecerdasan buatan, adalah melimpahnya konten-konten sampah, atau bahkan konten-konten hoax yang sengaja dibikin untuk berbagai kepentingan. Di sisi lain, para netizen terserang virus bias konfirmasi, yaitu kecenderungan alami untuk hanya menerima bukti yang mendukung hal yang sudah mereka percayai sebelumnya, atau menjadi keyakinan dan kecenderungannya.
Internet kemudian memberi ruang untuk bias konfirmasi itu tumbuh kian subur. Para pemrogram membuat algoritma yang memungkinkan kita hanya mendapat berita dan informasi yang sesuai minat dan apa yang kita percayai sebelumnya. Itulah yang menyebabkan kenapa usaha-usaha konfirmasi yang mestinya dilakukan, menjadi begitu minim bahkan bisa nihil.
Di sinilah kita perlu mengetengahkan kembali salah satu konsep dalam keilmuan Ahlusunah wal-Jamaah yang berupa tabayun, atau klarifikasi dan verifikasi. Konsep ini sudah mapan dan mengakar kuat dalam konsep dan aplikasi keilmuan Islam Ahlusunah wal-Jamaah, terutama dalam bidang hadis, tafsir yang berkenaan dengan riwayat, atau dalam fikih yang berkenaan dengan persengketaan di hadapan hakim.
Maka dari itu, konsep keilmuan Islam Ahlusunah wal-Jamaah ini penting untuk diketengahkan dan diaplikasikan di tengah-tengah produksi hoax yang membludak. Jika seandainya netizen mengaplikasikan ilmu tersebut di dunia maya, niscaya dampak dari persebaran hoax tidak akan bisa massif bahkan bisa untuk ditangkal secara efektif dan efisien.
Baca Juga: Keterlibatan Inggris Dalam Kampanye Wahabisme
***
Lebih dari semua yang telah kita diskusikan di atas, sebenarnya ada bahaya lain yang tersembunyi di balik AI, di mana bahaya ini lebih besar daripada yang lain, yaitu ketika orang-orang yang berkepentingan berhasil mengendalikan dan mendikte kita dengan AI.
Ketika Prof. Dr. Habib Abdullah Baharun, rektor Al-Ahgaff University, berkunjung ke Indonesia beberapa hari yang lalu, beliau membicarakan tentang ancaman AI dalam wawancaranya dengan NabawiTV. Menurut beliau, ancaman dan bahaya AI tidak terletak pada AI itu sendiri, melainkan pada orang-orang di belakang layar yang bisa mengendalikan AI tersebut.
Apa yang dikhawatirkan oleh Prof. Baharun tentu sangat beralasan, dan sama sekali tidak berlebihan. Karena AI sebagai sebuah produk, tentu tidak bebas nilai, melainkan justru sarat nilai dan bisa dikendalikan sesuai dengan kepentingan orang-orang yang ada di belakang layar. Kepentingan di sini bukan hanya soal uang dan politik, melainkan juga bisa berupa budaya, agama, dan lain sebagainya.
Pada tahun 2014, dunia dihebohkan dengan skandal Cambridge Analytica, yaitu skandal yang melibatkan pengumpulan informasi pribadi 87 juta pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica pada tahun. Data itu digunakan untuk memengaruhi pandangan pemegang hak pilih sesuai keinginan politikus yang mengontrak konsultan politik Cambridge Analytica.
Hal serupa bisa terjadi dan dilakukan oleh platform apapun, baik itu sosial media, microblog maupun kecerdasan buatan. Karena itu, para pengguna teknologi dari kalangan umat Islam tidak boleh rela menjadi budak dari pihak-pihak yang mengendalikan AI dari belakang layar. Bahkan, Prof. Baharun menyarankan umat Islam untuk membuat AI mereka sendiri, agar bisa lebih independen, bebas bias kepentingan, dan tidak didikte atau dikendalikan oleh orang-orang di luar kita. Jika tidak demikian, minimal umat Islam harus menggunakan AI dengan nalar yang kritis dan tidak menelan mentah-mentah apa yang disuguhkan oleh AI.
Baca Juga: Aswaja dan Tantangan AI (1)
***
Hal terakhir yang penting untuk kita diskusikan adalah, bahwa AI, seperti produk teknologi yang lain, memang bisa diakses oleh siapa saja. Secara umum, semua pengguna idealnya memang tidak semestinya percaya total pada AI, tanpa meninjau sumber pembanding, melakukan konfirmasi dan verifikasi.
Namun lebih dari itu, dalam kaitannya dengan konten keagamaan, sebetulnya produk teknologi hanya layak diakses oleh mereka yang sudah menguasai materi secara mendalam. Hal demikian karena hanya mereka yang telah mengantongi ilmu agama secara mendalam saja yang bisa mengoreksi kemungkinan kesalahan dari konten-konten keagamaan yang disuguhkan oleh mesin pencari atau AI.
Tanpa penguasaan mendalam, apalagi masih awam, maka menimba informasi keagamaan ke mesin pencari Google, sosial media, atau AI, sangat rentan dan bahkan berbahaya, karena orang semacam ini tidak bisa membedakan antara mana informasi yang benar dan mana yang keliru, mana yang lurus dan mana yang menyeleweng.
Sebenarnya, hal itu adalah aturan baku yang mestinya berlaku di bidang apapun, dalam disiplin ilmu apapun. Karena jangankan dunia internet, sosial media, dan kecerdasan buatan yang memang penuh dengan konten-konten sampah dan hoax, al-Quran dan hadis sekalipun bisa menyesatkan jika diakses oleh orang yang bekal ilmunya tidak memadai, apalagi oleh orang yang kosong dari ilmu. Itulah sebabnya kenapa ulama mengatakan bahwa “hadis adalah medan ketersesatan, terkecuali bagi ulama yang ahli”. Sebagian ulama berkata, bahwa “pernyataan tersebut juga berlaku bagi al-Quran”.
Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri