Latar Belakang
Khawarij adalah salah satu sekte Islam awal yang muncul pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Kemunculan mereka hampir bersamaan dengan munculnya Syiah, meskipun embrio pemikiran Syiah lebih dahulu ada. Uniknya, Khawarij berasal dari kalangan pendukung Ali sendiri, namun kemudian berbalik menjadi lawan yang keras.
Awal Mula di Perang Shiffin
Peristiwa penting yang melatarbelakangi lahirnya Khawarij terjadi dalam Perang Shiffin antara pasukan Ali dan Mu‘awiyah. Ketika pasukan Mu‘awiyah hampir kalah, mereka mengangkat mushaf dan menawarkan tahkīm (arbitrase berdasarkan Al-Qur’an). Ali sebenarnya ingin melanjutkan perang hingga Allah memutuskan kemenangan, tetapi sebagian besar pasukannya mendesak agar menerima tahkīm.
Baca Juga; Ismailiyah: Sinkronisasi Filsafat dalam Ajaran Syiah
Ali akhirnya menerima arbitrase dengan terpaksa. Saat itu, Mu‘awiyah memilih Amr bin Ash sebagai wakilnya, sedangkan Ali hendak menunjuk Abdullah bin Abbas. Namun kelompok yang mendesak tahkīm memaksa Ali menunjuk Abu Musa al-Asy‘ari. Arbitrase itu berakhir dengan hasil yang merugikan Ali, yakni pencopotannya dan pengakuan terhadap Mu‘awiyah.
Slogan “La Hukma Illa Lillah”
Anehnya, kelompok yang sebelumnya memaksa Ali menerima tahkīm justru kemudian mengecamnya. Mereka menganggap tahkīm sebagai dosa besar, bahkan menilainya sebagai kekufuran. Ali pun dituntut bertaubat, sebagaimana mereka mengaku telah bertaubat. Sejak itu, mereka mengangkat semboyan:
“Lā ḥukma illā lillāh” yakni Tidak ada hukum selain hukum Allah.
Semboyan ini dijadikan sebagai dasar ideologi. Setiap kali Ali berbicara, mereka meneriakinya dengan kalimat itu.
Karakteristik Khawarij
Khawarij dikenal sebagai kelompok yang:
- Fanatik dan keras dalam membela pendapat. Mereka menganggap pemahaman lahiriah teks agama sebagai kebenaran mutlak.
- Religius tetapi ekstrem. Kesalehan mereka tampak menonjol, namun dibarengi dengan sikap ceroboh dan terburu-buru.
- Mengutamakan al-barā’ah (berlepas diri) – Mereka mengharuskan sikap berlepas diri dari Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan para penguasa zalim Bani Umayyah.
- Mengutamakan slogan dibanding substansi – Pikiran mereka terfokus pada kata-kata, bukan pada makna mendalam dari ajaran agama.
Dialog dengan Umar bin Abdul Aziz
Khawarij sempat berhadapan secara intelektual dengan khalifah adil, Umar bin Abdul Aziz. Mereka mengakui bahwa Umar berbeda dari para pendahulu Bani Umayyah, karena ia menghentikan kezhaliman, mengembalikan hak-hak yang dirampas, dan menegakkan keadilan. Namun mereka tetap menolak tunduk kepadanya hanya karena ia tidak secara terbuka menyatakan berlepas diri dari keluarga Umayyah yang zalim. Hal ini menunjukkan betapa sempitnya cara berpikir mereka.
Baca Juga; Tinjauan Kritis Akidah Pokok Syiah
Penutup
Khawarij adalah cerminan dari ekstremisme dalam beragama. Semangat religius mereka tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman mendalam. Mereka berpegang pada slogan tanpa menghayati makna, fanatik pada teks lahiriah tanpa memperhatikan tujuan syariat. Sejarah mereka menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam agar tidak jatuh ke dalam sikap berlebih-lebihan dalam memahami agama.
Fauzan Imran | Annajahsidogiri.id