Dalam literatur kitab-kitab klasik ulama salaf, terdapat berbagai penjelasan tentang tafsir mimpi melihat Allah ﷻ. Namun sebelum membahas maknanya lebih lanjut, perlu kiranya bagi penulis untuk menjelaskan terlebih dahulu mengenai kemungkinan mimpi melihat Allah ﷻ itu sendiri, dalam perspektif ulama Ahlusunnah wal Jamaah.
Menurut para ulama, seseorang bisa saja bermimpi bertemu dengan Allah ﷻ, dan mimpi tersebut diperbolehkan secara syariat. Akan tetapi, apa yang dilihat dalam mimpi itu bukanlah hakikat dari dzat Allah ﷻ Yang Maha Suci. Sebab, dzat Allah terlalu agung untuk dapat dijangkau oleh pancaindra manusia, bahkan dalam mimpi sekalipun.
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bâri mengutip pernyataan Qadhi ‘Iyadh yang mengatakan:
لَمْ يَخْتَلِفْ الْعُلَمَاءُ فِي جَوَازِ رُؤْيَةِ اللَّهِ فِي الْمَنَامِ
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang diperbolehkannya melihat Allahﷻ dalam mimpi.”[1]
Bahkan dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbâr, karya Imam Abu Hanifah (Nu‘man bin Tsabit al-Kufi), diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata:
رَأَيْتُ رَبَّ الْعِزَّةِ فِي الْمَنَامِ تِسْعًا وَتِسْعِينَ مَرَّةً، ثُمَّ رَأَيْتُهُ مَرَّةً أُخْرَى تَمَامَ الْمِائَةِ
“Aku melihat Tuhan Yang Maha Mulia dalam mimpiku sebanyak sembilan puluh sembilan kali. Kemudian aku melihat-Nya lagi, genap menjadi seratus kali.” [2]
Baca Juga; Al-Quran dalam Perspektif Barat
Mimpi bertemu Allah ﷻ juga pernah dialami oleh Rasulullah ﷺ;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: رَأَيْتُ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَنْتَ رَسُولِي، وَأَنَا رَبُّكَ، فَاسْأَلْ مَا شِئْتَ.
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku melihat Rabbku dalam rupa yang paling indah, lalu Dia berkata: “Wahai Muhammad, Engkau adalah Rasul-Ku, dan Aku adalah Rabbmu, mintalah apa yang kau kehendaki.” (HR. At-Tirmidzi)
Arti mimpi melihat Allah dalam pandangan Uulama
As-Syekh Abdul Ghani an-Nabulusi menjelaskan bahwa arti mimpi melihat Allah ﷻ berbeda-beda tergantung pada kondisi orang yang bermimpi. Beliau berkata:
قَالَ عَبْدُ الْغَنِيِّ النَّابُلُسِيُّ: اللَّهُ تَعَالَى: الَّذِي لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ، وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. رُؤْيَتُهُ فِي الْمَنَامِ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ السَّرَائِرِ. فَمَنْ رَأَهُ بِعَظَمَتِهِ وَجَلَالِهِ بِلَا تَكْيِيفٍ، وَلَا تَشْبِيهٍ وَلِاتَمْثِيلٍ، كَانَ دَلِيلًا عَلَى الْخَيْرِ، وَهِيَ بِشَارَةٌ لَهُ فِي دُنْيَاهُ، وَسَلَامَةِ دِينِهِ فِي عُقْبَاهُ وَإِنْ رَآهُ عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ كَانَتْ رُؤْيَاهُ دَالَّةً عَلَى سُوءِ سَرِيرَتِهِ خُصُوصًا إنْ لَمْ يُكَلِّمْهُ اللَّهُ تَعَالَى، وَمَنْ رَآهُ مِنْ الْمَرْضَى مَاتَ لِأَنَّهُ الْحَقُّ، وَالْمَوْتُ حَقٌّ، وَإِنْ رَآهُ ضَالٌّ اهْتَدَى لِرُؤْيَتِهِ الْحَقَّ. وَإِنْ رَآهُ مَظْلُومٌ انْتَصَرَ عَلَى أَعْدَائِهِ.
“As Syekh Abdul Ghani an Nabulsi berkata tentang mimpi melihat Allah- Dzat yang tiada sesuatu pun menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat -bahwa melihat Allah dalam mimpi memiliki arti yang berbeda-beda tergantung kondisi batin seseorang. Barangsiapa melihat Allah dalam kebesaran dan keagungan-Nya, tanpa menyerupakan, menggambarkan, atau menyamakan-Nya, maka itu merupakan pertanda kebaikan, kabar gembira di dunia, dan keselamatan agama di akhirat. Namun jika melihat Allah tidak dalam keadaan demikian, maka itu menunjukkan buruknya hati orang tersebut, khususnya jika Allah tidak berbicara kepadanya. Jika ia dalam keadaan sakit, maka itu pertanda akan wafat , karena Allah adalah kebenaran dan kematian adalah kebenaran. Jika ia orang yang tersesat, maka ia akan diberi hidayah karena ia telah melihat kebenaran. Dan jika ia orang yang dizalimi, maka ia akan memperoleh kemenangan atas musuh-musuhnya.” [3]
Baca Juga; Bukti Sifat Wujud Allah Sebelum Alam Diciptakan
Al-Imam al-Baghawi dalam kitab Syarh as-Sunnah, mengutip pendapat gurunya – Qadhi Husain bin Muhammad bin Ahmad Abu ‘Ali al-Marwazi, seorang tokoh besar mazhab Syafi’i di zamannya – dengan mengatakan:
رُؤْيَةُ اللَّهِ فِي الْمَنَامِ جَائِزَةٌ، فَإِنْ رَآهُ فَوَعَدَ لَهُ جَنَّةً أَوْ مَغْفِرَةً أَوْ نَجَاةً مِنْ النَّارِ فَقَوْلُهُ حَقٌّ وَوَعْدُهُ صَدْقٌ. وَإِنْ رَآهُ يَنْظُرُ إلَيْهِ فَهُوَ رَحْمَتُهُ، وَإِنْ رَآهُ مُعْرِضًا عَنْهُ فَهُوَ تَحْذِيرٌ مِنْ الذُّنُوبِ لِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: {أُولَئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ}[آلُ عِمْرَانَ: ٧٧]. وَإِنْ أَعْطَاهُ شَيْئًا مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا فَأَخَذَهُ فَهُوَ بَلَاءٌ وَمِحَنٌ وَأَسْقَامٌ تُصِيبُ بَدَنَهُ يَعْظُمُ بِهَا أَجْرُهُ لَا يَزَالُ يَضْطَرِبُ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهُ إِلَى الرَّحْمَةِ وَحُسْنِ الْعَاقِبَةِ.
“Melihat Allah dalam mimpi adalah hal yang diperbolehkan. Jika seseorang melihat-Nya dan Allah menjanjikan kepadanya surga, ampunan, atau keselamatan dari neraka, maka ucapan-Nya adalah benar dan janji-Nya adalah pasti.Jika ia melihat Allah sedang memandangnya, maka itu adalah pertanda rahmat-Nya.Jika ia melihat Allah berpaling darinya, maka itu adalah peringatan atas dosa-dosanya, berdasarkan firman Allah ﷻ;
“Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapat bagian (kebaikan) di akhirat, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka dan tidak akan memandang mereka” (QS. Ali Imran: 77).
Dan jika Allah memberikan kepadanya sesuatu dari kenikmatan dunia, lalu ia menerimanya, maka itu merupakan ujian, cobaan, dan penyakit yang akan menimpa tubuhnya. Melalui semua itu, pahalanya akan dilipatgandakan, dan ia akan terus dalam keadaan seperti itu hingga Allah menyampaikannya kepada rahmat dan akhir yang baik.” [4]
Sampai sini bisa kita simpulkan, bahwa para ulama telah sepakat bahwa mimpi melihat Allah ﷻ adalah sesuatu yang mungkin terjadi dan diperbolehkan, namun apa yang dilihat dalam mimpi tersebut bukanlah dzat Allah ﷻ yang sejati. Tafsirnya pun sangat tergantung pada isi mimpi dan keadaan spiritual si pemimpi. Jika mimpi tersebut dipenuhi keagungan, kasih sayang, atau janji kebaikan, maka itu adalah kabar baik. Begitupun sebaliknya, jika dalam mimpi terlihat bahwa Allah berpaling atau tidak berbicara, maka itu bisa menjadi peringatan atas dosa-dosa dan pelanggaran si pemimpi itu sendiri. Wallahu A’lamu bis Shawab.
Moh Hafidz | Annajahsidogiri.id
[1] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 12, hal 382.
[2] Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 216
[3] Mu‘jam Tafsir al-Ahlam, hal. 90
[4] Syarh as-Sunnah, Juz 12, hal. 227–228