ketika mendengar ada orang berkata bahwa Tuhan itu adil, mungkin sering terlintas di pikiran kita, seperti apa yang dimaksud dengan keadilan Tuhan. Bagaimana bisa Tuhan dikatakan adil dengan adanya banyak kejahatan di dunia atau dengan adanya manusia yang cacat sedari lahir? jika Tuhan memang adil, mengapa Ia tidak menghilangkan semua kejahatan di dunia ini dan menciptakan semua manusia dalam keadaan sempurna tanpa cacat?
Jika sering terlintas di pikiran kita Pertanyaan seperti ini, maka harus sesegera mungkin untuk dihilangkan. Karena jika pikiran seperti ini sering muncul, bisa mungkin kita akan mencapai kesimpulan yang salah, bahwa Tuhan tidaklah adil dan Tuhan telah berlaku zalim kepada hamba-Nya. Dan itu merupakan kesalahan fatal bagi seorang hamba dalam berakidah.
Baca Juga; Membantah Isu Feodalisme dalam Pesantren (2/2)
Kita wajib meyakini bahwa Allah itu Maha Adil. Namun kita tidak boleh menganalogikan (menyamakan) keadilan Tuhan dengan keadilan makhluk. Ketika zaid melukai seseorang, maka ia dikatakan orang yang zalim. Hal ini jelas berbeda dengan Tuhan yang selaku pencipta segala sesuatu baik dan buruk. Maka Ia tidak bisa dikategorikan sebagai sosok yang zalim ataupun tidak adil. Sebab, kezaliman adalah ungkapan untuk sebuah aksi yang tidak sesuai dengan semestinya, seperti contoh Zaid yang mencuri.
Aksi pencurian yang dilakukan oleh zaid merupakan tindakan kezaliman, karena tindakan tersebut tidak sesuai dengan yang semestinya, di mana ia diharuskan taat pada aturan yang telah dibebankan oleh Tuhan kepadanya, baik berupa perintah ataupun larangan. Bentuk pencurian adalah tindakan kriminal yang dilarang dalam syariat Islam. Oleh karena itu, ia dikategorikan sebagai orang yang zalim, karena semestinya ia tidak melakukan larangan tersebut, sebab Tuhan telah melarang perbuatan tersebut.
Contoh lain: ketika siswa hadir di sekolah mengenakan seragam guru, maka ia dikategorikan sebagai siswa yang zalim, sebab ia harus mengenakan seragam siswa bukan malah seragam guru. Namun bagi guru yang mengajar atau bahkan kepala sekolah yang membuat peraturan, tidaklah dianggap sebagai kezaliman, ketika mereka mengenakan seragam guru, karena tidak ada larangan bagi mereka. Atau contoh lain adalah wali murid. Ketika mereka hadir ke sekolah dengan tidak menggunakan seragam, maka mereka tidak dikategorikan sebagai orang yang zalim atau salah. Hal itu karena wali murid tidak dibebani dengan aturan harus berseragam.
Begitu pula dengan Tuhan. Ia lah yang menetapkan aturan kepada makhluk-Nya. Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Justru Ia yang memberi kewajiban dan tidak ada kewajiban bagi-Nya. Jadi kata ‘zalim’ atau ‘tidak adil’ tidak bisa dinisbatkan kepada Tuhan, dan malahan hal itu tidak relevan.
Baca Juga; Naskh dan Mansukh; Antara Relevansi dan Kontroversi
Jadi, dalam konteks ini, Tuhan tidak bisa dikatakan zalim, karena Tuhan, semisal, tidak mempunyai kewajiban menciptakan hamba-Nya dengan keadaan sempurna. Ia tidak wajib memberikan kekayaan, sehinggan ketika ada manusia terlahir dengan keadaan cacat atau miskin, Tuhan tidak bisa disalahkan dan dicap sebagai sosok yang tidak adil. Tuhan tidak diatur oleh siapapun karena esensi dari Tuhan adalah, Ia yang memiliki hak prerogatif atas segala sesuatu. Perbuatan-Nya tidak sepatutnya dipertanyakan, apalagi sampai mengklaim hal buruk atas nama Tuhan. Justru kita sebagai hamba yang harus ditanya, mengapa kita masih mempertanyakan mengenai keadilan tuhan.[1]
Namun demikian, juga perlu kita ketahui, bahwa segala perbuatan Tuhan pasti mempunyai hikmah. Hikmah tersebut ada yang bisa dijangkau oleh akal, dan ada yang tidak bisa dijangkau. Contoh sederhananya adalah seorang wanita yang ditakdirkan mempunyai perawakan cantik dan kaya, dan wanita lain dengan perawakan jelek dan miskin. Jika kita telusuri hikmah di balik itu, bisa saja kita temukan wanita cantik dengan segala kelebihanya mempunyai keluarga yang begitu jahat kepadanya, sedangkan wanita jelek dengan segala kekuranganya justru memiliki keluarga yang yang sangat harmonis dan sangat baik. Jadi terkadang Tuhan memberikan kekurangan dari satu sisi tapi juga memberikan kelebihan di sisi lain yang tidak dimiliki orang lain.
Ahmad Jazuli | Annajah Sidogiri
[1] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, cet. haramain, vol I, hal. 90
































































