Interaksi merupakan sebuah konsep yang melibatkan hubungan antara dua entitas atau lebih dalam berbagai bentuk, mulai dari interaksi manusia dengan lingkungannya, hingga interaksi antara individu dengan individu lainnya. Konsep ini membentuk dasar dari dinamika sosial dan hubungan manusia di dalam masyarakat. Sedangkan dalam konteks sosial, interaksi memungkinkan manusia untuk memahami peran sosial yang ada dalam masyarakat. Melalui interaksi ini, individu dapat mengembangkan konsep diri mereka sendiri, memahami perspektif orang lain, dan membangun empati. Hal Ini menciptakan dasar bagi pola perilaku sosial yang diterima dalam masyarakat.[1]
Interaksi sosial antara umat Muslim dan non-Muslim merupakan topik yang menarik untuk dikaji dalam konteks kehidupan sosial. Interaksi sosial antara muslim dan non-Muslim merujuk pada hubungan serta komunikasi, baik individu atau kelompok dalam masyarakat. Hubungan yang baik antara keduanya sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai dalam masyarakat keseluruhan. Dalam masyarakat yang multikultural dan multiagama sepeti Indonesia. Pemahaman yang benar terhadap interaksi ini sangat penting untuk diketahui agar keharmonisan serta kerukunan dalam masyarakat dapat terealisasikan dengan benar.
Dalam Al-Qur’an terdapat tiga ayat dengan tiga kandungan prinsip yang dapat dijadikan acuan yang benar dalam tata-cara berinteraksi dengan non-Muslim. Penjelasannya sebagaimana berikut:
- Prinsip adil dan baik
- Al-Mumtahanah ayat 8
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨
“Allahﷻ tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah ﷻ mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Syeikh Wahbah az-Zuhaili menafsiri dalam tafsir Al-Munîr-nya bahwa “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang berakad damai dengan kalian dan tidak memerangi kalian dalam agama, seperti terhadap wanita dan orang-orang lemah dari mereka. Hal ini juga termasuk dalam hubungan kekeluargaan, menolong tetangga, menjamu tamu, serta tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Allah ﷻ juga tidak melarang kalian untuk berlaku adil di antara kalian dengan mereka, dengan memberikan hak-hak mereka, seperti menepati janji, menunaikan amanah, dan membayar harga barang kalian beli dari mereka dengan penuh. Dan sesungguhnya Allah ﷻ mencintai orang-orang yang adil dan memerintahkan untuk berlaku adil terhadap semua orang.[2]
- Tidak mencaci sesembahan mereka
- Al-An’am · Ayat 108
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًا ۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٠٨
“Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah (Allah) tempat mereka kembali, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
Berkenaan dengan ayat ini, syeikh Wahbah az-Zuhaili menafsiri bahwa orang-orang Muslim dilarang mencaci sesembahan orang musyrikin yang mereka sembah selain Allah ﷻ, karena hal itu bisa menyebabkan mereka mencaci Allah ﷻ dengan kebencian, yaitu dengan cara yang zalim dan melampaui batas dalam cacian dan makian dengan tujuan untuk menyakiti hati orang mukmin, karena mereka tidak tahu tentang kedudukan Allah ﷻ yang Maha Agung.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika ketaatan atau manfaat membawa kepada kemaksiatan atau kerusakan, maka harus ditinggalkan. Sebagaimana Allah ﷻ memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berbicara dengan lembut kepada Fir’aun, seperti yang tertulis dalam firman-Nya: “Katakanlah kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut, semoga dia ingat atau takut.”(QS. Thaha: 44)[3]
- Tidak memaksa dalam ajakan masuk islam
- Al-Baqarah · Ayat 256
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Masih dengan tafsir yang sama, syeikh Wahbah az-Zuhaili memberikan penjelasan perihal larangan memaksa siapapun untuk masuk Islam, karena bukti-bukti kebenaran Islam tidak memerlukan paksaan. Iman harus dibangun atas dasar keyakinan, hujah, dan bukti yang jelas, sehingga tidak ada manfaatnya dalam pemaksaan, paksaan, atau tekanan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Apakah kamu akan memaksa manusia sampai mereka menjadi orang-orang yang beriman?” [Yunus: 99]. Dan ayat ini juga menjadi bukti yang paling jelas untuk membatalkan klaim bahwa Islam ditegakkan dengan peperangan.[4]
Muhammad Aminulloh | Annajahsidogiri.id
[1] Arti Interaksi, Fungsi, dan Contohnya dalam Kehidupan | kumparan.com
[2] Syekh Wahbah az-Zuhaili, tafsir al-Munîr juz 27 hlm. 135-136
[3] Ibid juz.7 hlm. 325
[4] Ibid juz.3 hlm. 21































































