Dalam Islam, setiap umat, baik yang memiliki pengetahuan Islam yang mendalam atau tidak, memiliki kewajiban untuk melaksanakan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Istilah awam dalam konteks ini mengacu pada orang yang tidak memiliki keahlian dalam menggali suatu hukum dari sumber primer keilmuan Islam, yakni Al-Qur’an dan hadis, tetapi tetap memiliki kewajiban untuk menjalankan perintah Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Meskipun mereka tidak memiliki kedudukan atau ilmu yang tinggi, kewajiban seorang Muslim sebagai umat yang taat kepada agama tetap berlaku. Artikel ini akan membahas siapakah itu orang awam dan apa kewajiban mereka terhadap hukum syariat.
Definisi Awam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, orang awam berarti orang biasa yang bukan ahli dalam suatu bidang ilmu. Dalam bidang ushul fiqh, orang awam berarti orang selain mujtahid mutlak. Para muqallid itu termasuk awam jika dalam bidang ushûl-fiqh, meskipun tingkatan mereka tinggi.[1]
Menurut Az-Zarkasyi, orang awam adalah orang selain mujtahid mutlak, mujtahid mazhab, dan mujtahid fatwa. Beliau berkata:
“Tingkatan di bawah keduanya (mujtahid mutlak dan mujtahid mazhab) adalah mujtahid fatwa, yakni orang yang sangat menguasai mazhab dan memiliki kemampuan untuk mentarjih satu pendapat di atas pendapat yang lain. Ini (mujtahid fatwa) adalah tingkatan yang paling rendah. Sisanya sesudah itu adalah orang awam dan orang yang semakna dengan awam.”[2]
Baca Juga; Kenabian Nabi Adam
Kewajiban Awam
Status awam tidaklah menjadi halangan seseorang untuk tetap memiliki kewajiban menjalankan syariat Islam. Dalam keterbatasan ilmu, seorang Muslim awam tetap dituntut untuk mencari pemahaman tentang syariat dengan bertanya atau bertaklid kepada orang yang memang ahli dalam bidangnya, seperti para ulama dan para Mujtahid Mazhab al-Arba’ah.
Dalil Wajibnya Taklid Orang Awam pada Ulama
- Dalil Al-Qur’an
Allah ﷻ berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 43:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Mengenai ayat ini, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir menjelaskan, “Orang awam wajib bertanya kepada ahli dzikir (orang yang berilmu) tentang hal-hal yang mereka tidak ketahui. Adapun yang dimaksud dengan ahli dzikir adalah orang-orang yang memiliki ilmu secara umum, baik tentang kisah-kisah masa lalu—karena seseorang yang mengetahui sesuatu berarti ia mengingatnya—maupun tentang kitab-kitab samawi terdahulu, ataupun tentang Al-Qur’an.”[3]
- Ijma’
Imam Al-Ghazali dalam permasalahan wajibnya orang awam untuk meminta fatwa dan bertaklid kepada para ulama menggunakan landasan ijma’ para sahabat. Beliau berkata: “Aku mengambil dalil atas hal tersebut dengan dua jalan, salah satunya adalah ijma’ para sahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam dan tidak memerintahkan mereka supaya menggapai derajat ijtihad. Dan hal itu sudah maklum secara pasti serta mutawatir dari ulama dan yang awam dari mereka.”[4]
Al-Amidi dalam Al-Ihkâm juga menjadikan ijma’ sebagai dalil wajibnya orang awam untuk taklid kepada para ulama. Beliau berkata: “Umat pada masa sahabat dan tabi’in, sebelum munculnya kelompok yang mengingkari, selalu meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti mereka dalam masalah-masalah hukum syariat. Para ulama di antara mereka pun segera menjawab pertanyaan mereka tanpa menunjukkan rujukan dalil, dan mereka tidak melarang hal tersebut tanpa ada penolakan. Maka hal ini menjadi ijma’ (kesepakatan) atas kebolehan orang awam mengikuti mujtahid secara mutlak.”[5]
Baca Juga; Bagaimana Aswaja Memandang Rezeki?
- Dalil Rasional
Orang yang bukan ahli ijtihad ketika menghadapi suatu masalah fiqh, pada dasarnya hanya memiliki dua pilihan. Pertama, mencoba untuk menggunakan rasionya dan berijtihad sendiri dengan mencari dalil yang bisa menuntaskan masalah tersebut. Namun, ini hampir tidak mungkin dilakukan karena ia harus menghabiskan waktu yang sangat banyak untuk mencari, menganalisis, dan berijtihad dengan dalil-dalil yang ada, serta mempelajari berbagai metode ijtihad yang memerlukan proses pembelajaran yang panjang. Konsekuensinya, profesi dan tanggung jawab sosial lainnya akan terabaikan, bahkan berpotensi menyebabkan kerusakan dunia. Oleh karena itu, pilihan yang lebih sering diambil adalah mengikuti pendapat para mujtahid melalui taqlid.[6]
Dengan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa status awam tidak menghalangi seseorang untuk tetap memiliki kewajiban menjalankan ajaran Islam. Dalam keterbatasan ilmu, orang awam tetap dituntut untuk mencari pemahaman tentang syariat melalui bertanya atau bertaklid kepada orang yang ahli, seperti para ulama atau mujtahid. Dalil-dalil dari al-Qur’an, ijma’ para sahabat, dan alasan rasional membuktikan bahwa taklid kepada ulama adalah kewajiban bagi orang awam. Dengan demikian, meskipun orang awam tidak terlibat langsung dalam penggalian hukum, mereka tetap memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan syariat Islam secara benar.
Muhammad Aminulloh | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubrâ, juz 2 hlm. 250
[2] Tasynîf Al-Masâmi’, Juz 4, hlm. 575
[3] Syeikh Wahbah az-Zuhaili , Tafsîr Al-Munîr 14 \148
[4] Al-Ghazali, al-Mustashfâ hlm. 372
[5] Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al Ahkam 4\229
[6] Syeikh Ramdhan al-Buti, Alla Madzhabiyah hlm. 100-101































































