Makin hari, kelompok Wahabi semakin rajin mempropagandakan paham-paham tekstualis mereka, bahkan kendati paham itu bertentangan dengan nash yang jelas (sharihil-manqul) dan nalar yang benar (shahihil-ma‘qul).
Baca Juga: Akar Kontroversi Salafi-Wahabi
Sebagian dari paham menyimpang yang sering Wahabi gaungkan adalah menetapkan domisili bagi Allah, bahwa kata mereka, Allah berarah atas, dan menetap atas Arasy. Itulah yang membikin mereka gemar mengetes iman seseorang dengan pertanyaan: “Di manakah Allah?”
Malah, seorang ustadz Wahabi yang cukup terkenal, Firanda Andirja, menyatakan dengan tegas, bahwa jika ada yang berkata bahwa Allah tidak berarah atas, bawah, samping kanan atau samping kiri, depan dan belakang, atau mengatakan bahwa Allah tidak bertempat di mana-mana, berarti orang itu berkeyakinan bahwa Allah itu tidak ada.
Baca Juga: Setali Tiga Uang Liberal-Wahabi (1/2)
Dari sini kita melihat dengan jelas, bahwa betapa kaum Wahabisme ini telah bergeser pada haluan materialisme, yang mana mereka menolak keberadaan sesuatu yang bukan materi, dan berpandangan bahwa segala sesuatu berasal dari materi; bagi mereka, hal-hal yang tak tertangkap oleh indera berarti tidak ada, atau hanya mitos belaka.
Padahal, para ulama Tauhid telah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak butuh pada tempat dan faktor yang menentukan atau membatasi-Nya. Dia adalah Dzat yang wajib ada; keberadaan-Nya tidak terpengaruh oleh suatu faktor apapun, dan bahwa Dia tidak pernah tidak ada. Dialah yang menciptakan tempat, waktu, dan segala sesuatu. Jika dikatakan bahwa Allah menempati suatu tempat, berarti Dia butuh pada ciptaan-Nya. Tentu, ini mengurangi kemutlakan Allah, membuat-Nya terbatas, dan itu mustahil.
Karena itu, sebenarnya pertanyaan “Di manakah Allah?” itu berhubungan dengan keberadaan (al-maujud) yang harus memiliki tempat, waktu, awal, dan akhir. Jika keberadaan yang ditanyakan itu dibatasi dengan batasan-batasan tersebut, maka pertanyaan itu tepat sasaran. Akan tetapi jika pertanyaan tersebut diarahkan pada keberadaan yang tidak terbatas; mengatasi segala tempat, waktu, serta tak dibatasi oleh awal dan akhir, maka secara rasional kita tidak bisa bertanya “di mana Dia berada?”
Dengan demikian, berarti pertanyaan itu bermasalah. Sebab Allah ada sebelum adanya tempat dan waktu, serta Dia-lah yang menciptakan tempat, waktu, dan segala sesuatu. Ketika Dzat yang mengatasi segala tempat justru Anda tanyakan “di mana tempat-Nya”, maka pertanyaan Anda itu kontradiktif, dan itulah masalahnya.
Akal yang terperangkap dalam kredo materialisme sudah pasti tidak bisa memahami hakikat ini. Sebab para pemeluk paham materialisme hanya beriman pada sebagian keberadaan, yakni pada keberadaan yang bisa ditangkap oleh indera saja. Padahal keberadaan itu terdiri dari dua jenis: pertama, keberadaan yang bisa tertangkap oleh indera; kedua, keberadaan yang tidak bisa tertangkap oleh indera, yakni perkara gaib, termasuk Allah.
Moh. Achyat Ahmad|Direktur Annajah Center Sidogiri