Ada ulasan menarik dari Umar Shahab, Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia dalam tulisan yang berjudul Dibilang Syiah, Siapa Takut? Tulisan ini dipublikasikan di portal ahlulbaitindonesia.or.id. Sebagaian poin yang ingin Umar Shahab sampaikan ialah bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah hanya berbeda interpretatif, tidak sampai berbeda secara subtansial. Berikut ulasan beliau dalam satu paragraf:
Meski Sunni dan Syiah berbeda dalam pandangan politik, teologi, dan fikih, tetapi perbedaan di antara keduanya lebih bersifat interpretatif, penafsiran, ketimbang substansial. Masalah prinsip prinsip keimanan atau yang lazim disebut di kalangan Sunni dengan istilah Rukun Iman misalnya, (ternyata) keduanya tidak saling menafikan yang lain. Bahkan masing-masing menerima dan mengakui prinsip yang lain. Keenam Rukun Iman Sunni, yaitu iman kepada Allah, malaikat, rasul-rasul, hari akhir dan gadha-gadar diterima secara bulat oleh kalangan Syiah. Demikian pula kelima prinsip keimanan (ushul aliman), Syiah, yaitu tauhid, keadilan Ilahi, kenabian, imamah dan hari akhir dibenarkan oleh kalangan Sunni. Perbedaan keduanya hanya terletak pada perumusan prinsip dan penafsiran atas prinsip-prinsip yang dirumuskan.
Kutipan dari artikel berjudul Dibilang Syiah, Siapa Takut?
Dengan satu paragraf tersebut, seakan Sunni-Syiah tidak berbeda sama-sekali dalam perkara yang prinsipil. Namun, bila kita cermati lagi, dalam satu paragraf tersebut, banyak sekali pengkaburan, yang jauh dari kenyataan. Semisal:
Baca Juga: Kebingungan Sakte Syiah
- Perbedaan di antara keduanya lebih bersifat interpretatif, penafsiran, ketimbang subtansial.
- Rukun iman Sunni-Syiah tidak saling menafikan yang lain. Bahkan masing-masing menerima dan mengakui prinsip yang lain.
- Rukun iman Sunni diterima secara bulat oleh kalangan Syiah.
- Kelima prinsip keimanan Syiah dibenarkan oleh kalangan Sunni, termasuk imamah.
- Perbedaan keduanya hanya terletak pada perumusan prinsip dan penafsiran atas prinsip-prinsip yang dirumuskan.
Oke, akan saya bahas satu-persatu kekeliruan tersebut:
Perbedaan Bukan Subtansial
Sebenarnya, Umar Shahab sudah menulis sendiri, bahwa poin-poin rukun iman antara Syiah dan Sunni tidaklah sama. Apakah hal ini bukan perbedaan yang subtansial?
Kalau memang poin imamah bukan merupakan sesuatu yang subtansial, ngapain ada pada poin rukun iman? Apa berarti poin-poin rukun iman Syiah ‘bukan’ merupakan sesuatu yang subtansial? Kalau benar begitu, berarti teranglah di sini perbedaan Sunni dengan Syiah. Pasalnya, Sunni sangat meyakini bahwa keenam rukun Iman merupakan perkara yang subtansial.
Menurut Sunni, keabsahan keimanan seseorang, sangat tergantung dengan keimanan seseorang kepada keenam poin rukun, secara keseluruhan. Tidak percaya satu saja, keimanan orang itu tidak sah.
Bagaimana dengan rukun iman Syiah? Apakah mempercayai imamah itu merupakan perkara yang prinsip, atau bukan?
Rukun Iman Sunni-Syiah Menerima dan Mengakui Prinsip Satu Sama Lain
Sunni sama sekali tidak mengakui kepada rukun imamah. Juga, klaim Syiah bahwa imamah sendiri merupakan sesuatu yang “wajib” secara akal (‘aqly). Di dalam kitab al-Irsyad (2/243) al-Mufid, salah-satu ulama Syiah mengatakan:
“Sesungguhnya Syiah mengetahui Imam ibnul Hasan menggunakan istidlal (dalil akal), sebagaimana mereka mengatahui Allah, nabi-Nya dan urusan agama menggunakan istidlal (dalil akal)… asal ini tidak membutuhkan riwayat nash, lantaran sudah cukup mengunakan dalil akal sudah dikatakan sah berdasarkan ketetapan istidlal”.
Selaras dengan itu, al-Murtadha, salah seorang ulama Syiah mengatakan dalam Risalah fil-Ghaybah (hal. 2), “Akal menuntun untuk adanya pemimpin, dan pemimpin itu harus ma’shûm”.
Tentu, Sunni tidak meyakini, bahwa imammah itu wajib secara akal. Ketara sekali perbedaan prinsip antara Sunni-Syiah.
Rukun Iman Sunni Diterima Secara Bulat oleh Kalangan Syiah
Dengan adanya poin imamah, berarti Syiah tidak menerima secara bulat rukun iman Sunni, melainkan masih mengotak-ngotkan sesuai penambahan imamah.
Kelima Prinsip Keimanan Syiah Dibenarkan oleh Kalangan Sunni, Termasuk Imamah
Sama-sekali ulama Sunni tidak membenarkan bahwa imamah itu “wajib” secara aqly, dan memasukkan imamah kepada rukun agama. Paling tidak, Sunni hanya menganggap Imamatul-Kubrâ sebagai kewajiban secara syariat, bukan akal, dan juga tidak termasuk rukun agama.
Beda jauh antara “wajib” ‘aqly dengan wajib secara syariat. Muslim Sunni sudah terbiasa membedakan keduanya sejak kelas Ibtidaiyah. Dalam Nazam Aqidatul-Awam, mata pelajaran Ibtidaiyah, mengumpulkan dua kata wajib dalam satu nazam yang berbunyi:
وَبَعْدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَـهْ * مِنْ وَاجِـبٍ ِللهِ عِشْـرِيْنَ صِفَهْ
“Waba’du, ketahuilah bahwasannya wajib (secara syariah) mengetahui sifat yang wajib (secara akal) kepada Allah yang berjumlah duapuluh.”
Murid Ibtidaiyah Sunni, tidak pernah bingung membedakan dua kata wajib dalam satu nazam tersebut. Orang Syiah yang kerap menyamakan paham imamiah Sunni dengan imamiah Syiah, apakah bisa membedakan keduanya?
Perbedaan Keduanya Hanya Terletak pada Perumusan Prinsip dan Penafsiran atas Prinsip-Prinsip yang Dirumuskan
Dengan poin ini, apakah Umar Shahab ingin mengatakan bahwa imamah bukan prinsip, alias hanya rumusan saja? Kalau memang begitu, kembali ke pertanyaan awal, kenapa termasuk poin rukun iman? Kalu tidak begitu, alias imamah itu merupakan prinsip agama, jelaslah kebohongan Umar Shahab. Perbedaan Syiah dengan Sunni, merupakan perbedaan prinsip, bukan sekadar rumusan.
Dengan kita mengetahui bahwa beberapa poin itu merupakan kedustaan belaka, kita juga tahu kesimpulan Sunni-Syiah tidak ada perbedaan secara subtansial itu keliru total. Tentunya, kita juga tahu bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah merupakan perbedaan yang bersifat subtansial, bukan sekadar furû’iyah saja.
Muhammad ibnu Romli | Pemimpin Redaksi Annajahsidogiri.id