Persatuan umat Islam merupakan sebuah keniscayaan untuk mengembalikan kejayaan Islam. Perpecahan dan konflik internal yang tidak jarang mengakibatkan terjadinya perang saudara antara umat Islam tentu saja menguras banyak energi dan tidak menguntungkan bagi Islam itu sendiri.
Namun upaya persatuan dan ukhuwah ini tidak boleh dinodai dan dimaknai sebagai upaya terselubung atau nyata mempengaruhi golongan Ahlussunnah wal Jamaah agar berpindah menjadi Syiah. Sebab saat ini, beberapa tokoh di Indonesia yang berupaya mendamaikan Ahlussunnah dan Syiah ini banyak yang terjebak pada pengaburan kesesatan ajaran Syiah. Mereka banyak melakukan pembelaan terhadap Syiah, tapi membiarkan Syiah terus menerus menerbitkan buku dan publikasi yang menyerang akidah Ahlussunnah.
Tentu saja, ini tidak benar dan tidak dapat dibiarkan. Upaya mewujudkan persatuan dengan cara mengaburkan kesesatan Syiah sama saja dengan upaya untuk mensyiahkan golongan Ahlussunnah. Ahlussunnah dapat hidup berdampingan dengan Syiah dengan akidah dan simbolnya masing-masing.
Persatuan ini harus dibangun atas dasar sikap saling menghormati dan menghargai serta tidak melakukan tindakan yang dapat mencederai dan merusak keharmonisan bersama. Bukan dengan menerima ajaran sesat Syiah dan membiarkan mereka mensyiahkan golongan Ahlussunnah.
Dalam hal ini, Grand Syaikh al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad at-Thayyib, menyatakan, “bahwa al-Azhar menolak keras penyebaran ajaran Syiah di negeri-negeri Ahlussunnah, karena hal itu dapat merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas Negara, memecah belah umat dan membuka peluang kepada Zionis untuk memunculkan isu-isu perselisihan madzhab di negara-negara Islam.”
Ulama besar Ahlussunnah keturunan Sayidina Hasan bin Ali ini juga berkata, “Kami juga sangat menyesalkan celaan dan pelecehan terhadap para sahabat dan istri Nabi Saw yang terus menerus kami dengar dari kalangan Syiah, yang tentu saja hal itu sangat kami tolak. Perkara serius lainnya yang kami tolak adalah upaya penyusupan dan penyebaran Syiah di tengah masyarakat muslim di negeri-negeri Sunni.”
Dengan demikian, upaya apapun yang dilakukan untuk mendekatkan (taqrîb) dan mendamaikan Ahlussunnah dan Syiah akan sia-sia jika hal-hal tercela dan tidak patut secara akidah, syariah dan akhlak Islam masih terus dilakukan dan disiarkan secara massif.
Apalagi gerakan taqrîb yang banyak diupayakan selama ini dikendalikan Syiah untuk kepentingan mereka dengan mengorbankan akidah dan simbol-simbol Ahlussunnah. Beberapa ulama besar Ahlussunnah telah merasakan sendiri pengalaman taqrîb dan pada akhirnya meragukan keefektifannya.
Tentang masalah ini, Prof. Dr. Ahmad at-Thayyib berkata, “Meski para ulama besar al-Azhar terdahulu pernah terlibat di dalam berbagai konferensi persatuan Islam antara Ahlussunnah dan Syiah guna melenyapkan fitnah yang memecah belah umat Islam, penting saya garis bawahi bahwa seluruh konferensi itu nyatanya hanya ingin memenangkan kepentingan kalangan Syiah Imamiyah dan mengorbankan kepentingan, akidah dan simbol-simbol Ahlussunnah, sehingga upaya taqrîb itu kehilangan kepercayaan dan kredibiltasnya seperti yang kami harapkan.”
Perkataan yang senada juga disampaikan oleh Syaikh Yusuf Abdullah al-Qardhawi . Dalam kitabnya, Fatâwâ Mu’âshirah, IV/230-239, Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional ini menegaskan sikapnya terhadap gagasan taqrîb dan mendamaikan Ahlussunnah dan Syiah.
Beliau berkata, “Sungguh, sejak saya ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan Madzhab (Taqrîb), saya telah menemukan beberapa poin penting yang jika diabaikan akan membuat upaya pendekatan tidak akan pernah terjadi. Semua telah saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat saya kunjungan ke Iran 10 tahun yang silam. Di sini saya mengacu kepada tiga perkara: Pertama, kesepakatan untuk tidak mencerca sahabat. Kita tidak mungkin didekatkan jika seperti itu. Saya mendoakan semoga Allah meridhai para sahabat, sedangkan engkau mendoakan semoga Allah melaknat mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat terdapat perbedaan yang sangat besar.”
“Kedua, dilarang menyebarkan sebuah madzhab di sebuah daerah yang dikuasai oleh madzhab tertentu. Atau seperti yang dikatakan Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan istilah Syiahisasi (ekspor madzhab Syiah ke Negara lain). Ketiga, memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika minoritas tersebut adalah madzhab yang sah. Inilah sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau ikut terlibat dalam upaya taqrîb tanpa syarat dan ketentuan.”
Dengan demikian, perdamaian antara Ahlussunnah dan Syiah tidak akan terwujud tanpa kesediaan Syiah untuk menghentikan semua kegiatan missionarisnya di negeri-negeri Ahlussunnah dan meninggalkan ritual caci maki mereka terhadap para sahabat dan istri Rasulullah Saw.
Jika hal ini diabaikan, maka persatuan antara Ahlussunnah dan Syiah hanyalah sebuah ilusi dan mimpi yang tidak akan pernah nyata.
***
Sebenarnya, sangat mudah mengakhiri konflik berkepanjangan antara Ahlussunnah dan Syiah. Perdamaian akan mudah tercipta jika memang ada upaya yang tulus dan serius dari Syiah untuk mewujudkannya dan menghentikan sumber-sumber konflik yang biasa disulut oleh mereka. Ahlussunnah tentu saja dapat menerima mereka dengan tangan terbuka jika mereka siap melakukan beberapa hal berikut :
- Seluruh Syiah dunia, melalui perwakilan masing-masing menandatangani pernyataan bahwa al-Qur’an/Mushaf Utsmani yang ada sekarang asli, otentik, dan tidak ada perubahan. Syiah harus berlepas diri, dan siap mengadili siapa saja tokoh Syiah yang mengatakan al-Qur’an tidak asli atau telah diubah.
- Seluruh Syiah dunia, melalui perwakilan masing-masing siap menandatangani pernyataan berlepas diri dari semua referensi, baik ulama maupun kitab Syiah, yang mencaci, melaknat, dan mengkafirkan sahabat serta Isteri-isteri Rasulullah Saw. Selanjutnya siap menjatuhkan sanksi kepada siapa saja yang berani mengulanginya.
- Menandatangani perjanjian untuk tidak menyebarkan ajaran Syiah di tengah masyarakat Ahlussunnah, di manapun mereka berada.
- Siap berdiskusi dan berdialog bersama, guna menyelesaikan segala perbedaan pendapat dalam masalah ushuliyah seperti rukun iman, rukun Islam, taqiyah, dan masalah furu’iyah seperti nikah mut’ah, mengusap al-Khuff dalam safar. Dengan menjadikan Al-Qur’an serta hadits shahih sebagai referensi utama.
Jika hal ini terwujud maka cita-cita terwujudnya persatuan dan perdamaian antara Ahlussunnah dan Syiah bukan lagi mimpi di siang bolong.