Nahdhatul Ulama dikenal sebagai organisasi yang memiliki banyak tradisi keagamaan. Tradisi tersebut mengakar sejak lama dan telah menjadi ciri khas tersendiri bagi warga NU. Salah satu tradisi yang hingga saat ini masih terus berjalan adalah tradisi selamatan untuk memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari orang yang meninggal dunia.
Awalnya tradisi semacam ini berjalan normal-normal saja. Namun, seiring waktu muncul aliran yang mencoba membongkar tradisi yang sudah mengakar di masyarakat tersebut.
Mereka tidak pernah menyerah menggrogoti keyakinan warga NU agar meninggalkan tradisi ini. Lebih parah lagi, mereka menganggap tradisi ini sebagai tradisi bid’ah yang sesat. Ini tentu membuat masyarakat awam resah. Bagaimana tradisi yang sudah mereka jalani sekian lama dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan agama.
Di sinilah kita coba mengkaji keabsahan peraktik di atas dalam sudut pandang Islam. Namun, kami tidak mengkaji mengenai tahlil yang merupakan isi dari acara tersebut. Kami lebih tertarik untuk mengajak pembaca memahami intisari dari pelaksanaan selamatan hari meninggal yang hingga saat ini masih terjadi banyak kekeliruan pemahaman di kalangan masyarakat.
Syekh Ismail Zain, dalam kitabnya, Qurratul ‘Ain fî-Fatawa as-Syekh Ismail Zain, pernah mendapatkan pertanyaan mengenai peraktik selamatan orang meninggal sebagaimana yang sering dilakukan oleh warga NU. Dalam kitab tersebut, beliau menuturkan bahwa mengadakan selamatan seperti tersebut di atas sebenarnya bukan hal yang salah. Mengadakan acara seperti ini justru merupakan tindakan terpuji bahkan bisa dikategorikan sebagai perkejaan sunah. Sebab dalam mengadakan selamatan tersebut, tuan rumah akan menghidangkan makanan kepada para tamu yang diundang. Status makanan tersebut, menurut beliau adalah termasuk shadaqah yang diberikan oleh tuan rumah dan sebagai hidangan untuk menghormati para tamu undangan.
Namun demikian, tidak serta merta mengadakan acara selamatan seperti di atas dilegalkan oleh syariat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengadakan acara tersebut. Di antaranya dari mana sumber dana yang digunakan untuk mengadakan acara ini didapat? Ini penting untuk diperhatikan dan inilah yang seringkali terjadi salah paham pada masyarakat awam.
Syekh Ismail Zain dalam fatwanya menuturkan bahwa bolehnya mengadakan acara selamatan orang yang meninggal adalah jika dana yang digunakan untuk mengadakan acara tersebut tidak diambilkan dari harta warisan yang ditinggalkan oleh mayit. Uang yang digunakan untuk mengadakan acara tersebut harus diambilkan dari dana lain, entah itu dari harta pribadi salah satu ahli waris, atau dengan cara urunan dari semua ahli waris yang sudah baligh (bukan yang masih kecil atau belum baligh), atau dengan sumbangan yang diberikan oleh orang lain. Jika dana yang digunakan bukan dari peninggalan mayit, maka inilah selamatan yang termasuk hal yang dianjurkan oleh syariat, sebab suguhan yang diberikan tuan rumah bisa jadi berupa shadaqah yang pahalanya dihadiahkan untuk mayit. Hal ini jelas merupakan tindakan yang sangat dianjurkan, sebab ulama sepakat bahwa pahala shadaqah yang dihadiahkan untuk mayit pasti akan sampai kepadanya.
Suguhan tersebut bisa juga sebagai bentuk hidangan untuk menghormati orang-orang yang bertakziah, dan ini juga merupakan hal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Seperti sabda Beliau saw,“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamunya.”
Walhasil, mengadakan selamatan orang yang meninggal pada dasarnya adalah termasuk tindakan terpuji yang patut dipertahankan, dengan catatan tidak menggunakan harta peninggalan mayit sehingga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam syariat Islam. Wallahu a’lam.