Pada tahun 2016, Majelis Ulama Indoensia (MUI) mencatat bahwa aliran sesat di Indonesia terhitung sekitar 300-an lebih (CNN Indoensia | 21/01). Tentu, ini merupakan angka yang luar biasa. Namun, respon umat Islam terhadap aliran-aliran sesat tersebut beragam. Sebagian menilai bahwa aliran sesat sudah seharusnya diberantas. Sebab ia bertentangan dengan ajaran agama Islam yang sudah sempurna. Namun bagi kalangan lain, sikap yang harus diambil adalah membiarkannya. Sebab mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya.
Baca Juga: Sejarah Liberalisasi di Indonesia
Dari perbedaan ini, diskusi tentang aliran sesat memanas dan berlangsung hingga saat ini. Oleh karena itu, perlu kiranya persoalan ini dikaji dengan kepala dingin, menurut kacamata Islam dan negara.
Apa Itu Aliran Sesat
Sejatinya, kita tidak perlu ngotot membuat kriteria aliran sesat sendiri. Sebab, MUI, sudah memiliki standarnya. Pada 6 November 2007, MUI secara resmi menetapkan 10 kriteria golongan Islam dikatakan sesat (yang ditandatangani oleh Ketua MUI Dr. KH. M. A. Sahal Mahfudh dan Sekjen MUI, Drs. H. M. Ichwan Sam) sebagaimana berikut; 1) Mengingkari salah satu rukun Iman yang enam atau rukun Islam yang lima. 2) Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i, al-Quran dan Sunah. 3) Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Quran. 4) Mengingkari otentisitas dan/atau kebenaran isi al-Quran. 5) Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. 6) Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam. 7) Menghina, melecehkan, dan/atau merendahkan para Nabi dan Rasul. 8) Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. 9) Mengubah, menambah, dan/atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat, seperti haji ke Baitullah, shalat fardhu lima waktu. 10) Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Maka setiap kelompok Islam yang masuk pada salah satu kriteria di atas, ia sudah bisa divonis sesat. Para pelaku kesesatan ini, dalam Islam juga disebut dengan ahlul-bidah; pelaku perkara baru yang sesat menurut agama. Imam asy-Syafi’i menyatakan: “Perkara baru dalam agama ada dua; Pertama, perkara baru yang tidak sesuai dengan al-Quran, hadits, atsar dan ijma’ ulama, disebut dengan bidah yang sesat. Kedua, perkara baru yang tidak bertentangan dengan apa yang sudah disebutkan, namanya bidah yang baik.”(lihat: Hilyatul-Awliya wa Thabaqâtul-Ashfiyâ’, IX/113)
Pandangan Agama dan Negara
Persoalannya adalah saat kita menyikapi aliran sesat dari dua sudut pandang sekaligus; sudut pandang Islam dan negara. Negara menjamin kebebasan rakyatnya dan, di sisi lain, Islam justru mengutuk ajaran menyimpang. Maka bagaimana kita memaknai kata “kebebasan” di sini?
Negara memang menjamin kebebasan rakyatnya, sepanjang kebebasan itu tidak mengusik orang lain. Semisal, Ahamadiyah, meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad, silahkan bebas berpendapat. Namun, karena mereka berafiliasi pada agama Islam, maka kebebasan ini tidak bisa ditolerir. Sebab, ia mengganggu ajaran Islam yang sudah final dan jamak diketahui oleh umat Islam.
Contoh lain adalah Syiah, kelompok yang memiliki rukun Iman yang berbeda, silahkan bebas berpendapat. Namun, karena mereka mengklaim sebagai bagian dari Islam, maka ini tidak bisa dibenarkan. Sebab mereka telah mengusik ajaran Islam yang mendasar dan disepakati oleh para ulama.
Oleh karena itu, maka sikap umat Islam saat menghadapi aliran sesat adalah mereka berhak menyesatkan aliran sesat tersebut dan mengajaknya untuk bertaubat.Wallâhu a’lam.
Fawaidul Hilmi | Annajahsidogiri.id