Menikah berarti melakukan sunah Nabi Muhammad SAW. Namun, sebelumnya perlu diketahui secara seksama, menikah seperti apa yang bisa dikategorikan sebagai sunah Nabi? Pastinya, menikah yang dimaksud di sini ialah akad nikah yang memenuhi ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh syariat, yaitu akad nikah yang memenuhi syarat-syarat sah nikah dan rukun-rukunnya. Jika salah satu ketentuan syarat atau rukun ini tidak terpenuhi, maka akad nikahnya tidak sah alias haram, dan tentu akan menjerumuskan pada perzinaan, akad nikah yang awalnya halal bisa berhukum haram bila keliru dalam praktiknya. Bukanlah pahala yang didapat, malah dosa yang diraih secara berlipat.
Bagaimana dengan Nikah Mutah?
Dr. Prof. Quraisy Shihab dalam bukunya yang bertajuk “Mistik, Seks, dan Ibadah” memberikan definisi terhadap nikah mutah dengan akad nikah yang menetapkan batas waktu, hari, bulan, atau tahun sesuai dengan yang disepakati oleh calon suami istri. Dengan berakhirnya masa yang telah disepakati, secara otomatis perceraian terjadi. Definisi ini juga disampaikan oleh Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya, Syari’atullah al-Khalidah.
Secara historis, nikah mutah pernah dilegalkan oleh Rasulullah kepada para shahabat pada suatu waktu tertentu karena situasi darurat, kemudian Rasulullah melarangnya hingga hari kiamat. Yakni ketika para shahabat sedang melakukan ekspansi militer melawan orang-orang kafir. Lalu Rasul melarangnya pada peristiwa Khaibar, dan diperbolehkan lagi oleh Nabi, lalu pada pembebasan kota Mekah Nabi melarangnya kembali, kemudian pada perang Authas, nikah mutah dilegalkan kembali oleh Nabi, setelah itu Nabi melarangnya selama-lamanya. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke-8 dari hijrah. Begini kitab Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Syari’atullah al-Khalidah, menjelaskan.
Pula, Nabi pernah bersabda:
صحيح مسلم (7/ 192)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
صحيح مسلم (2/ 1023)
وحدثني سلمة بن شبيب حدثنا الحسن بن أعين حدثنا معقل عن ابن أبي عبلة عن عمر بن عبدالعزيز قال حدثنا الربيع بن سبرة الجهني عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن المتعة وقال : ألا إنها حرام من يومكم هذا إلى يوم القيامة ومن كان أعطى شيئا فلا يأخذه
صحيح البخارى (17/ 168)
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِىَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِى الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا – رضى الله عنه – قَالَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ .
Syiah dan Nikah Mutah
Namun, yang sangat mengherankan adalah, masih ada sekte Islam yang menghukumi boleh nikah mutah ini, dan bahkan mengategorikannya sebagai ajaran pokok akidahnya. Tiada lain kelompok ini bernama Syiah. Diriwayatkan dari Syekh as-Shaduq dari Imam as-Shadiq, beliau berkata:
“Bahwasanya nikah mutah adalah agamaku dan agama ayahku, barang siapa yang mengamalkannya maka dia telah mengamalkan ajaran agama Islam, dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia telah mengingkari ajaran agama Islam, dan meyakini ajaran selain agama Islam.”
Pernyataan lucu seperti ini secara tidak langsung mengafirkan orang atau kelompok yang tidak menerima ajaran nikah mutah. Hal ini jelas sangat berbenturan dengan ajaran Islam yang sangat berhati-hati dalam masalah takfir. Seakan–akan mereka yang melegalkan nikah mutah hanya berpegangan pada hawa nafsu mereka belaka, tanpa berpikir dengan jernih. (Ta’alau Ila Kalimatin Sawa’in bainana Wa bainakum karya Doktor Abdullah Majid Umar)
Salah satu tokoh Syiah terkemuka, Sayid Fathullah al-Kasyani dalam Tafsir Minhaj as-Shadiqin mengemukakan, “Seorang yang mengerjakan nikah mutah sekali maka dia sederajat dengan Sayyidina Husein, mengerjakan dua kali sepangkat dengan Sayyidina Hasan, sepangkat dengan Sayyidina Ali bila menikah mutah tiga kali, dan seorang yang menikah mutah sebanyak empat kali maka dia mendapat derajat setara dengan Nabi Muhammad.”
Bagaimana mungkin hanya melakukan nikah mutah bisa menyamai derajat Nabi Muhammad, sangat jelas sekali hal itu hanya mengada-ada. Bukanlah hal yang mungkin, seorang umat bisa menyamai pangkat seorang Nabi. (Ta’alau Ila Kalimatin Sawa’in bainana Wa bainakum)
Kesimpulannya, nikah mutah sudah diralat kebolehannya oleh baginda Nabi Muhammad. Konsensus ulama bahkan mengakui hukum keharamannya. Adapun dalil-dalil Syiah terkait legitimasi nikah mutah tadi, terkesan hanya mengikuti nafsu belaka dan sukar untuk diterima oleh akal sehat manusia, sebagaimana penjelasan Doktor Umar Abdullah Kamil. Wallâhu A’lam
Ismail | Annajahsidogiri.id