Bulan Rabiul Awal, merupakan bulan yang mulia disebabkan pada bulan itulah Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan. Sudah tidak asing lagi di benak kita, setiap kali memasuki bulan ini, akan muncul suatu persoalan kusam yang terus berulang-ulang dari waktu ke waktu, yaitu perihal perayaan maulid Nabi. Hal itu oleh Wahabi dipandang sebagai sesuatu yang bidah dan dikecam oleh agama. Sayangnya, pada tulisan yang sederhana ini tidak akan membahas hukum perayaan maulid itu sendiri, karena pada hakikatnya hal itu sudah final akan legalitasnya. Bahkan ulama yang dibanggakan oleh mereka sekaligus yang dijadikan rujukan, yakni Syekh Ibnu Taimiyah juga mengakui keagungan perayaan maulid Nabi ini. (Iqtidlâus-Sirâth al-Mustaqîm, hlm. 621)
Namun demikian, muncul sebuah problematika baru yang menyoal perbedaan antara Nabi Muhammad ﷺ dan para ulama atau tokoh agama, dengan pertanyaan, mengapa Nabi dirayakan hari kelahirannya, sementara para ulama yang dikenang hari kepergiannya?
Baca Juga: Benarkah Nabi ﷺ Wafat Tanggal 12?
Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani al-Makki mengemukakan dalam salah satu kitabnya seraya mengutip dari perkataan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab al-Hâwî lil Fatâwî (1/193), yang artinya :
“Hari kelahiran Nabi Muhammad ﷺ adalah paling agungnya nikmat untuk kita (umatnya), dan hari kepergiannya adalah musibah paling besar. Syariat menganjurkan untuk menampakkan syukur atas nikmat, bersabar, diam, dan menyembunyikan ketika tertimpa musibah. Syariat juga menyuruh melaksanakan akikah setelah melahirkan sebagai bentuk syukur dan ekspresi bahagia, dan syariat tidak memerintah ketika tertimpa musibah berupa kematian untuk menyembelih dan hal sejenisnya. Justru syariat melarang untuk menampakkan kesedihan. Hal itu mengindikasikan bahwa syariat Islam menganggap bagus merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad pada bulan ini (Rabiul Awal), bukan malah untuk mengenang hari wafatnya” (Haulal-Ihtifâl bi Dzikrîl-Maulid an-Nabawi asy-Syarîf I/40)
Doktor Umar Abdullah Kamil dalam salah satu karyanya yang berjudul al-Inshâf (I/392), juga memberikan pandangan yang argumentatif dalam hal ini, dengan berdalil firman Allah dalam al-Quran:
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ
“Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira” (QS. Yunus:58)
Kemudian beliau mengkorelasikan firman Allah tadi dengan satu hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah rahmat. Hadis itu berbunyi:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَادِيهِمْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
“Nabi memanggil mereka, wahai manusia sesungguhnya saya adalah rahmat dan mendapatkan petunjuk” (HR. Imam ad-Darimi no. 15)
Dari keterangan di atas, muncul sebuah formulasi seperti ini; keberadaan Nabi Muhammad atau kelahirannya adalah suatu rahmat yang kita diperintah oleh Allah untuk merayakannya sebagaimana bunyi ayat di atas, dan tidak selayaknya kita mengenang hari hilangnya rahmat. Sedangkan para ulama, bukanlah termasuk cakupan dari ayat tadi, yang kemudian mesti kita rayakan hari kelahirannya. Alasan lain, para ulama bisa bermanfaat bagi orang lain ketika mereka sudah alim, bukan sejak mereka lahir.
Walhasil, merayakan hari maulid Nabi adalah bentuk syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan kepada umat manusia di seluruh alam, juga hal itu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi kita. Sebaliknya, mengenang hari wafat Nabi berarti menampakkan kesedihan yang mana hal itu tidak dianjurkan oleh syariat. Berbeda dengan para ulama, yang sudah semestinya kita kenang jasa mereka, supaya tinta emas yang mereka torehkan tidak pupus oleh masa. Wallâhu A’lam.
Ismail | Annajahsidogiri.id