Warga Jember membuat patung penangkal wabah Ptakotan yang mereka yakini bisa menangkal virus Covid-19. Mereka mempunyai keyakinan bahwa patung itu dapat mencegah penyakit pagebluk, yakni wabah atau virus yang menyerang dengan mendadak secara bersamaan yang akhir-akhir ini menyerang masyarakat. Kepercayaan itu mereka dasari sebagai adat turun-temurun dari leluhur warga daerah tersebut. Ratusan patung terpasang pada tiap rumah warga Dusun Kedunglengkong, Desa Menampu, Kec. Gumukmas, Kab. Jember. Patung Ptakotan tersebut terbuat dari bambu dan batok kelapa, dengan ukuran yang cukup bervariatif, mulai dari yang hanya 1-meter sampai 1,5 meter. Adapun bentuk dari patung tersebut juga bermacam-macam, ada yang berwujud pocong, orang perempuan dan juga anak-anak, dengan riasan baju bercorak warna-warni, juga helm serta masker layaknya manusia pada umumnya. Berita ini terlansir dalam Suarajatim.id.
Untuk menyikapi fenomena tersebut, barangkali hal pertama yang penting untuk dikaji ialah terkait keyakinan mereka perihal sebab-musabab pada patung penangkal wabah itu. Apabila mereka berkeyakinan bahwa yang benar-benar menangkal wabah adalah patung penangkal buatan mereka, maka bisa kita pastikan mereka tervonis kafir, karena mereka meyakini ada sesuatu yang dapat memberi atsar atau pengaruh selain Allah, dan hal itu hukumnya mustahil. Jika mereka berpandangan bahwa yang bisa menolak wabah adalah patung tersebut dengan kekuatan yang Allah berikan maka mereka adalah ahli bidah dan fasik, tidak sampai kafir. Sedangkan jikalau mereka tetap berkeyakinan bahwa Allahlah yang memberikan pengaruh, hanya saja Allah menjadikan hukum sebab-musabab pada patung tersebut, maka inilah keyakinan yang betul dan orang yang seperti ini adalah mukmin yang selamat. (Tuhfatul-Murîd, hlm. 58)
Mengenai hukum pembuatan patung itu sendiri, sebenarnya hal itu lebih mengarah pada pembahasan disiplin ilmu fikih, oleh karena itu penulis tidak mengkajinya pada tulisan ini. Untuk lebih terangnya, bisa merujuk kepada kitab al-Fiqhul Islamî wa Adillatuhu (4/222), di sana terdapat klasifikasi patung beserta hukumnya ysecara detail.
Terlepas dari persoalan barusan, apakah patung penangkal wabah yang mereka yakini sebagai penangkal virus masuk pada kategori tafâ’ul atau berharap sesuatu yang baik kepada Allah, yang mana hal itu menjadi anjuran dalam agama Islam. Simak jawabannya berikut ini!
Dalam kitab Anwârul-Burûq fî Anwâ’il-Furûq (8/368) tertulis bahwa, tafa’ul terperinci menjadi dua macam, yakni tafâ’ul yang mubah dan tafâ’ul yang haram. Ada dua faktor yang mendasari pembagian ini, yaitu unsur berburuk sangka kepada Allah dan absennya adat ketuhanan (‘Âdatun Rabbâniyatun). Ketika dua faktor tersebut tercapai maka tafâ’ul bisa berhukum haram.
Ulama mencontohkannya dengan salah satu pekerjaan yang lumrah terjadi pada masa jahiliah, berupa mengharap kebaikan dengan cara melempar busur pada kayu kering. Pada kayu kering itu terdapat tulisan “Lakukan!” dan tulisan “Tinggalkan!”. Kemudian pelempar busur itu harus melakukan perintah yang terdapat dalam tulisan yang tertuju oleh anak panahnya. Nah, para ulama menjadikan misal ini dari tafâ’ul yang haram, sebab tidak terdapat adat ketuhanan yang biasanya dapat menimbulkan perkara baik. Sama dengan kasus patung ptakotan, yang sudah jelas bahwa hal itu tidak terdapat adat ketuhanan yang umumnya melahirkan sesuatu yang baik.
Selain itu, hasil keputusan Bahstul Masail Wustho (BMW) ke-61 Pondok Pesantren Sidogiri, mengenai persoalan patung penangkal wabah Ptakotan yang menjadi keyakinan sebagai penolak wabah, juga dicetuskan hukum haram. Sebab, permasalahan tersebut termasuk tafâ’ul yang haram dengan beberapa alasan yang sama dengan yang telah dipaparkan sebelumnya.
Ismail | Annajahsidogiri.id