Ulama berbeda pendapat dalam hukum berujar “Saya mukmin, Insyaallah”. Kebanyakan ulama Maturidiah, mengkufurkan orang yang berujar demikian. Alasan mereka karena berkata “Insyaallah” termasuk meragukan keimanan. Sedangkan meragukan keimanan hukumnya kufur.
Beda halnya dengan ulama Asyairah. Mereka memperbolehkan berujar demikian, namun dengan beberapa ketentuan. Al-Imam Abi al-Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad asy-Sya’rani menuturkan dalam kitab al-Yawâqît wal-Jawâhîr fî bayâni ‘Aqâidil Akâbîr bahwa ucapan seseorang tentang keimanan yang disambung dengan kalimat Insyaallah itu diperbolehkan jika tidak diniati syak (meragukan keimanan) seketika itu. Sebab, jika diniati syak seketika itu, maka Asyairah pun sepakat mengatakan pelakunya kufur.
Melainkan, maksudnya adalah khawatir keimanan hilang di akhir hayat. Karena yang dikehendaki dari iman adalah di akhir hayat, bukan seketika itu. Beliau menukil pendapat Shahabat Abdullah bin Mas’ud berikut ini:
وَكَانَ عَبْدُ الله بِنْ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِذَا سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ يَقُوْلُ: قَوْلُ اْلعَبْدِ أَناَ مُؤْمِنٌ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى أَوْلَى مِنَ اْلجَزْمِ لَا يُقَالُ إِنَّ قَوْلَ اْلعَبْدِ إِنْ شَاءَ اللهُ يُوْهِمُ الشَّكَ فِيْ الحَالِ فِيْ إِيْمَانِهِ لِأْن نَقُوْل كُلُّ مُؤْمِنٍ مُتَحِقِّقٌ بِاْلإِيْمَانِ فِي اْلحَالِ جَازِمٌ بِاسْتِمْرَارِهِ عَلَيْهِ إِلَى الْخاَتِمَةِ اَلَّتِيْ يرجو حُسْنهَا
“Abdullah bin Mas’ud ketika ditanyakan tentang hukum mengucapkan ‘Saya mukmin Insyaallah’ menjawab, ‘Ucapan seseorang ‘Saya mukmin Insyaallah’ lebih utama daripada memantapkan ucapan tesebut (Saya pasti mukmin). Tidaklah dikatakan bahwa ucapan ‘Insyaallah’ menimbulkan keraguan seketika itu dalam keimanan. Karena menurut kami, setiap orang beriman yang memutlakkan keimanannya seketika itu, menetapkan wajibnya iman sampai akhir hayat yang sangat diharapkan kebagusannya.
Baca Juga: Kolerasi Iman dan Islam
Imam al-Ghazali menambahkan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddin dengan sangat gamblang bahwa ucapan yang demikian itu diperbolehkan dalam empat hal. Berikut pemaparannya:
Pertama: Jika orang yang mengucapkannya itu khawatir bila memantapkan keimanannya akan berdampak mensucikan diri (Tazkiatun-Nafsi). Sebab Allah melarang hal itu sebagaimana dalam surah an-Najmu ayat 31 dan an-Nisa’ ayat 49. Pun, ketika Imam Hakim ditanyakan tentang kebenaran apa yang paling jelek, beliau menjawab, “Pujian seseorang terhadap dirinya sendiri.”
Imam al-Ghazali juga memberi gambaran yang dikaitkan pada ahli tafsir, ahli fikih atau dokter ketika ditanyakan tentang keahliannya. Lantas mereka akan menjawab, “Saya ahli dalam bidang tersebut, Insyaallah.” Penyaksian yang demikian jelas tidak bermaksud meragukan akan keahlian dirinya sendiri, melainkan untuk merendahkan diri.
Kedua: Menjaga adab pada Allah. Sebab semua perkara dikembalikan pada kehendak Allah. Al-Quran banyak memerintah kita untuk menjaga adab pada Allah dengan mengatakan Insyaallah. Seperti dalam Surah al-Kahfi ayat 23-24 dan al-Fath ayat 27. Bahkan ketika Nabi memasuki area kuburan, Nabi berkata, “Keselamatan atas kalian semua hai perkampungan kaum mukmin. Sesungguhnya kelak kita akan menyusul kalian semua, Insyallah.”
Ketiga: Orang yang mengucapkan demikian ragu pada kesempurnaan iman, bukan pada keberadaan iman sepenuhnya. Sebab iman itu adakalanya naik dan turun. Sehingga si pengucap ragu apakah ia dalam keadaan naik imannya atau dalam keadaan turun. Nah, dalam hal ini diperkenankan selagi tidak meragukan keimanan secara seluruhnya.
Keempat: Pendapat keempat ini sama seperti penjelasan dalam kitab Yawâqît wal-Jawâhîr fî bayâni ‘Aqâidil Akâbîr di atas. Yakni ragu akan keimanannya sampai akhir hayat. Sebab tidak ada yang mengetahui keimanan seseorang di akhirnya kecuali Allah semata.
Alasan keempat ini, menurut Imam al-Ghazali, bisa menjadi wajib. Sebab iman menjadi pertimbangan (‘ibârah) masuknya seseorang ke dalam surga. Sebagaimana puasa sampai terbenamnya matahari, menjadi pertimbangan sah-tidaknya puasa. Bahkan jika seseorang ditanyakan tentang puasa yang telah ia laksankan kemarin hari, maka jawaban yang seharusnya adalah seraya mengucapkan Insyaallah. Sebab, meski secara zahir puasa kita sah, namun diterima-tidaknya puasa kita tergantung kehendak Allah. Wallahu A’lam.