(٩٧٠)عَنْ جَابِرٍ قَالَ: « نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ .»
Dari Riwayat Jabir:
“Rasulullah bersabda: Rasul melarang untuk memplaster, menduduki dan membangunnya.”
Dalam hadist diatas benar Rasulullah melarang membangun kuburan, sebab ada sisi lain yang menimbulkan masfsadah nantinya pada pemahaman umatl islam umumnya. Terutama mereka nantinya malah akan menjadikan suatu kebanggan dengan megah dan mewahnya kuburan, dan hal lainnya, hal seperti inilah hingga mengindikasikan larangan Rasulullah terhadap membangun atau menghias kuburan dengan hal apapun.
Namun seputar pembangunan kuburan ini memilliki 3 sisi yang masing-masingnya memiliki hukum sendiri; yaitu adakalanya haram, jaiz dan makruh. Cakupan hukum ini akan kami lampirkan serta pembahasan mengnai pihak manakah yang menhukumi haram ataukah jaiz dan makruh.
Makruhnya Membangun Kuburan Menurut Imam Nawawi[1]
Makruhnya memplaster kuburan sebab kuburan itu sesuatu tempat yang mengerikan sepehamanyang ada pada benak kalangan manusia umunya, bagaimana kalau pemahaman tersebut di tepis oleh satu kalangan dengan membangun dan menghias Masjid, maka nanti bukannya sebagi pengingat kita mati, apalagi untuk menambah ketakwaan seperti sabda nabi perihal kuburan:
مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ
“Tidak aku lihat pemandangan, kecuali kuburanlah yang paling menakutkan”[2]
Bila pemahaman umat manusia sudah tidak takut lagi dengan kuburan, akan sangatlah mudah bagi mereka jangankan medudukinya bisa-bisa sampai menginjak-injak yang hal tersebut haram dikalangan Syafi’iyah menduduki diatas kuburan.
Boleh Membangun Kuburan Orang Shaleh[3]
Boleh dengan arti bila adanya unsur tabarruk dan menghidupkan, para penziarah, walaupun tempat atau lokasi kuburannya berupa tempat musabbalah untuk pemakaman saja, sebab ziarahnya kita pada orang shalih guna meminta agar di doakan dan mendapat barokahnya, seperti halnya nabi yang memerintah kita untuk bertawassul pada mereka jika kita ingin menjadi orang yang beruntung.
يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah carilah perantara mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kalian bahagia.”[4]
Makruh Membangun Kuburan Menurut Syafi’iyah[5]
Terdapat satu jawaban dari Ibnu Rusydi pada seorang qadhi dalam pemahamn yang ada pada ibarat akhir tentang makruhnya membangun dan plester pada kuburan dengan konteks: beliau menyimpulkan dari pemahaman yang ada dalam ibarat di atas dengan membagi menjadi 3 hukum adakalanya haram Ketika ada unsur berbangga diri, dan jaiz bila ada unsur hanya sebatas pembeda dengan kuburan lainnya, terakhir makruh kalau tidak ada unsur keduanya.
يُكْرَهُ أَنْ يُبْنَى عَلَى القَبْرِ بَيْتِ أَوْ قُبَّةِ أَوْ مَدْرَسَةِ أَوْ مَسْجِدِ أَوْ حَيْطَانِ – إِذَا لَمْ يَقْصِدْ بِهَا الزِيْنَةُ وَالتَّفَاخُرُ وَإِلَّا كَانَ ذَلِكَ حَرَامًا
“Makruh membangun pada kuburan sebuah ruang, kubah, sekolah, Masjid, atau tembok, ketika tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan, jika karena tujuan tersebut, maka membangun pada makam dihukumi haram”[6]
At Tirmidzi dan ulama hadits yang lain juga meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang shahih, namun dengan lafadz tambahan:
وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ
“dan (juga dilarang) ditulisi”
Karena hal itu termasuk bentuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga wajib mencegahnya.
Selain itu, menulis kuburan juga dapat menimbulkan suatu hal yang beresiko atau konsekuensi berupa sikap ghuluw (berlebihan) dan sikap lainnya yang dilarang oleh syar’iat. Namun Yang di perbolehkan adalah mengembalikan tanah galian lubang kubur ke tempatnya lalu ditinggikan sekitar satu jengkal sehingga orang-orang tahu bahwa di situ ada kuburan. Inilah yang sesuai sunnah dalam masalah kuburan yang dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya radhiallahu’anhum.
Beda lagi dengan memberi nama karena maksud untuk membedakan dengan kuburan lainnya, boleh-boleh saja dengan unsur sebagai pembeda, tanpa adanya maksud sebagai berlebih-lebihan.
Relasi Wahabi Mengkafirkan Peniggian Masjid
Sebelum kita memvonis hal apa yang dilaknat nabi pada kaum yahudi dan nashara tetang peninggian Masjid, itu tidak langsung di mutlakan laknat juga bagi kita umat islam, karena pastinya kita punya tujuan yang berbeda justru bisa menambah kita lebih bertakwa dan mengingat pada kematian.
Perlu diketahui mengenai Asbabu wurudil hadits tersebut, yakni sebagai berikut:
فَقَدْ قَالَتْ السَيِّدَةُ أُمُّ سَلَمَةْ رَضِىَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا لِرَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ كَانَتْ فِى بِلاَدِ الحَبْشَةِ تَقْصُدُ الهِجْرَةُ إِنَّهَا رَأَتْ أُنَاسًا يَضَعُوْنَ صُوْرَ صُلَحَائِهِمْ وَأَنْبِيَائِهِمْ ثُمَّ يُصَلُّوْنَ لَهَا، عِنْدَ إِذْنِ قَالَ الرَسُوْلَ صَلَّى اللَّهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
( لَعَنَ اللَّهُ اليَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوا قُبُوْرَ اَنْبٍِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ )
Ummu Salamah ra bercerita kepada Rasulullah Saw ketika dulua ia berada di Habasyah saat hendak Hijrah, bahwa dia pernah melihat beberapa orang yang meletakkan patung-patung orang sholih dan para Nabi mereka, kemudian mereka sholat kepada patung-patung tersebut. Maka bersabdalah Rasulullah Saw “Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai Masjid”.
Jelas sudah asal muasalnya Rasul melaknat pada orang Yahudi dan Nasrani karena setelah mereka membangun dan menghias justru malah menjadikannya sebagai persembahan selain Allah, sedangkan apa yang dilakukan umat islam umunya, justru hanya sebatas pembeda saja agar tidak tertukar dan mudah untuk menandainya.
Begitupula terdapat penjelasan sayyidah Aisyah tentang hadist di atas, boleh-boleh saja sholat di kuburan asalkan kuburannya itu tertutup bukan jelas nampak kuburannya, karena memang tidak yang mengingkari shalat di kuburan yang tertutup, begitulah penjelasan yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah.[7] Sebagaimana yang kita ketahui kuburan nabi yang tertutup dan terdapat di dalam Masjid Nabawi, sampai sekarang tidak dari ulama’ salaf yang mengingkari ini.
Pengkafiran yang sering digembar-gemborkan oleh mereka karena mereka menganggap hal seperti peninggian ini merupakan suatu Istihsan dengan arti Bid’ah, sedangkan mengenai shalat dikuburan, anggapan mereka kalua yang di lakukan itu sama halnya menyembah selain Allah tanpa adanya tinjauan, dengan memutlakan (baik kuburan tertutup atau terbuka).
Padahal yang sampai mengkafirkan itu bila kita shalat tepat di dalam kuburan yang terbuka, beda halnya dengan shalat berada di luarnya masjid yang tertutup. Selama ini juga masih belum banyak terbukti, kalau kebanyakan kita itu memang benar-benar menyembah kuburan.[8]
Maka dengan meninjau dari literatur gramatika arabnya lafaz.Masjid merupakan:
مَسْجِدَ : المَوَضِعُ الَّذِي يُسجَد و يُتَعَبَّد فيِهََ (Tempat untuk bersujud dan beribadah di dalamnya)
Maka makna hadits tersebut dari sisi mufradatnya adalah:
جَعَلُوا مَدْفَنُ الاَنْبِيَاءِ مَوْضِعًا اللَذِيْنَ يَسْجُدُوْنَ وَ يَتَعَبَّدُوْنَ فِيْهِ
“Mereka menjadikan tempat pemendaman (pengkuburan) mayat para Nabi sebagai tempat mereka bersujud dan beribadah di dalamnya”.
Dari sini saja sudah bisa dipahami bahwa yang shahih adalah mereka masuk kedalam kubur atau berada di atas kubur dengan tujuan untuk menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujud dan tempat beribadah. Dan inilah yang diperbuat orang Yahudi dan Nashara. Berbeda dengan Uslam umat Islam, tidak ada seorang pun sejak dulu hingga detik ini yang melakukan seperti itu. Umat Islam ziarah ke makam Nabi, ke makam Ulama, dan wali-wali (seperti Wali Songo dan lainnya) tidak sujud diatas atau di dalamnya, sampai sini jelas beda dengan apa yang di laknatkan Rasul pada orang Yahudi dan Nasrani.
Mengarahkan hadits tersebut kepada umat Islam yang ziarah dan datang ke Masjid yang disebelahnya ada kuburan shalihin merupakann bentuk vonis yang tidak tepat sasaran, sesat menyesatkan, serta membuat fitnah yang akan memecah belah persatuan kaum muslimin.
{قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا}
Orang-orang yang berkuasa atas utusan mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.”[9]
Ibnu Jarir meriwayatkan dua pendapat sehubungan dengan hal ini. Masih ada simpang siur tentang status penguasa tersebut, salah satunya mengatakan bahwa sebagian dari mereka adalah orang-orang muslim. Pendapat yang lainnya mengatakan, sebagian dari mereka adalah orang-orang musyrik. Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenarannya.
Makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa orang-orang yang Mengatakan demikian adalah para penguasa yanng berpengaruh di kalangan mereka. Akan tetapi, terpujikah perbuatan mereka itu? Untuk menjawab pertanyaan ini masih perlu adanya pertimbangan yang mendalam, mengingat Nabi Saw. telah bersabda:
“لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ”
Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai tempat peribadatan.
Nabi Saw. mengucapkan demikian dengan maksud memperingatkan kaum muslim agar jangan berbuat seperti mereka.
Telah diriwayatkan pula kepada kami dari Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a., bahwa ketika ia menjumpai kuburan Nabi Danial di masa pemerintahannya di Irak, maka ia memerintahkan agar kuburan itu disembunyikan dari orang-orang, dan batu-batu bertulis (prasasti) yang mereka temukan di tempat itu agar dikubur. Prasasti tersebut berisikan kisah-kisah kepahlawanan dan lain-lainnya.
Muhammad Fadil | Annajahsidogiri.ID
[1] كتاب صحيح مسلم
حيان بن حصين قَوْلُهُ (نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ) وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى نَهَى عن تقصيص القبور التقصيص بالقاف وصادين مهملتين هُوَ التَّجْصِيصُ وَالْقَصَّةُ بِفَتْحِ الْقَافِ وَتَشْدِيدِ الصَّادِ هِيَ الْجِصُّ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ كَرَاهَةُ تَجْصِيصِ القبر والبناء عيه وَتَحْرِيمُ الْقُعُودُ وَالْمُرَادُ بِالْقُعُودِ الْجُلُوسُ عَلَيْهِ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَقَالَ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّأِ الْمُرَادُ بِالْقُعُودِ الْجُلُوسُ وَمِمَّا يُوَضِّحُهُ الرِّوَايَةُ الْمَذْكُورَةُ بَعْدَ هَذَا لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى (لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتَحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ) قَالَ أَصْحَابُنَا تَجْصِيصُ الْقَبْرِ مَكْرُوهٌ وَالْقُعُودُ عَلَيْهِ حَرَامٌ وَكَذَا الِاسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالِاتِّكَاءُ عَلَيْهِ وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ فِي مِلْكِ الْبَانِي فَمَكْرُوهٌ وَإِنْ كَانَ فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ فَحَرَامٌ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَرَأَيْتُ الْأَئِمَّةَ بِمَكَّةَ يَأْمُرُونَ بِهَدْمِ مَا يُبْنَى ويؤيد الهدم قوله
[2] (HR. Ahmad)
[3] حاشية البجيرمي على الخطيب (6/ 156)
حج ولو وجد بناء في أرض مسبلة ولم يعلم أصله ترك لاحتمال أنه وضع بحق قياسا على ما حرروه في الكنائس ومن البناء الأحجار التي جرت عادة الناس بتركيبها نعم استثنى بعضهم قبور الأنبياء والشهداء والصالحين ونحوهم ، برماوي وعبارة الرحماني : نعم قبور الصالحين يجوز بناؤها ولو بقبة الأحياء للزيارة والتبرك ، قال الحلبي : ولو في مسبلة ، وأفتى به ، وقال : أمر به الشيخ الزيادي مع ولايته وكل ذلك لم يرتضه شيخنا الشوبري ، وقال : الحق خلافه وقد أفتى العز بن عبد السلام بهدم ما في القرافة ، ويستثنى قبة الإمام لكونها في دار ابن عبد الحكم ا هـ ويظهر حمل ما أفتى به ابن عبد السلام على ما إذا عرف حال البناء في الوضع ، فإن جهل ترك حملا على وضعه بحق كما في الكنائس التي نقر أهل الكنائس عليها في بلادنا وجهلنا حالها ، وكما في البناء الموجود على حافات الأنهار والشوارع ا هـ
[4] (QS. Al-maidah: 35)
[5] حاشية الدسوقي (1/ 425)
وَمِنْ أَجْوِبَةِ ابْنِ رُشْدٍ لِلْقَاضِي عِيَاضٍ وَنَقَلَ نَصَّهَا ثُمَّ قال وهو الذي يُفْهَمُ من آخركلام التَّوْضِيحِ اه كَلَامُهُ
وَتَحَصَّلَ مِمَّا تَقَدَّمَ أن الْبِنَاءُ على الْقَبْرِ أو حَوْلَهُ في الْأَرَاضِي الثَّلَاثَةِ وَهِيَ الْمَمْلُوكَةُ له وَلِغَيْرِهِ بِإِذْنٍ وَالْمَوَاتِ حَرَامٌ عِنْدَ قَصْدِ الْمُبَاهَاةِ وَجَائِزٌ عِنْدَ قَصْدِ التَّمْيِيزِ وَإِنْ خَلَا عن ذلك كُرِهَ.
[6] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah
[7] ولو لا ذلك لأبزوا قبره : Silsilatul-Hidayah/syekh Abdullah al-Harrari
سلسلة الهداية تبيين ضلالة الألباني: ص؛ 93
[8]يصلي خلف القبور الثلاثة كما لا كراهة في صلاة من يصلي في الروضة وجزء المسجد الذي عن يسار الققبور الثلاثة ومن يصلي أمام القبور الثلاثة
تعني أن النهي المذكور لا يشمل من يصلي الى قبر مستور غير بارز, فلا كراهة في صلاة من
[9] Al-Kahfi: 21
Muhammad Fadil | Annajadsidogiri.ID