Menyambung dari artikel sebelumnya, berikut beberapa hukum yang sering disalah pahami oleh kaum Liberal:
Pertama, poligami. Mengapa poligami tidak dilegalkan untuk para wanita? Hal ini didasari oleh rahasia yang ada di baliknya, yaitu andaikan seorang wanita juga diperbolehkan untuk berpoligami maka akan menggagu pada rahimnya dan menyulitkan dalam pemberian nasabpada si buah hati tercinta[1]. Syekh Abu Bakar Syata menjelaskan bahwa poligami pada dasarnya disyariatkan karena menjadi penengah kemashlatan antara syariat nabi-nabi sebelum Rasullulah. Pada masa Nabi Musa, nikah hanya diperbolehkan dengan perempuan tanpa ada batasnya karena kemashlahatan para lelaki, sedangkan pada masa Nabi Isa, dilarang menikah lebih dari satu orang. Maka syariat kita menjaga kedua kemaslahatan tersebut dengan memberi batasan empat perempuan[2].
Kedua, ‘iddah disyariatkan kepada kaum wanita untuk menjaga kebersihan sebuah rahim mereka dari bekas sperma suami yang pertama, sehingga menutup kemungkinan bahwa janin yang dikandung dari suami yang pertama. Sedangkan terkhususkannya‘iddah pada wanita karena kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak akan terjadi pada laki-laki[3].
Ketiga, dalam hal warisan laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan, selain karena laki-laki mempunyai kewajiiban lebih seperti menafkahi dll, pembagian demikian itu hanyalah terjadi pada satu kasus, itupun karena alasan tertentu; ketika seseorang wafat meninggalkan anak, ayah dan ibu. Sedangkan pada kasus yang lain, Al-Qur’an menetapkan seperenam bagi wanita maupun laki-laki saat seorang wafat meninggalkan saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu, dan masih banyak contoh lainnya.
Keempat, aurat wajibnya seorang perempuan memakai hijab justru menunjukkan kesamaan dengan laki-laki dalam aspek kemanusiaannya seperti menuntut ilmu, bekerja dll. Karena apabila seorang perempuan tidak memakai hijab dan menunjukkan kewanitaanya, maka sifat unggul kemanusiaannya akan tertutupi. Sebab, jika laki-laki saat melihat wanita tanpa hijab, yang terlihat bukanlah kemanusiaannya melainkan sisi kewanitaan yang akan mengantarkan pada fitnah[4].
Keenam, talak memang menjadi hak independen seorang laki-laki dalam rumah tangga. Mengapa seorang perempuan tidak memiliki hak talak juga? Hal ini disamping karena karkater yang lemah, seorang wanita andaikan mempunyai hak talak, maka akan sangat cepat sekali kemungkinan terjadinya perceraian dalam rumah tangga. Sebab, dia tidak wajib untuk membayar mahar, sehingga akan ada kisah perempuan yang mendapat mahar pada hari ini dan cerai dikeesokan harinya[5].
Ketujuh, nusyuz. Ketika perempuan tidak memenuhi hak-haknya maka langkah pertama yang dilakukan suami adalah menasihatinya. Namun bila tetap saja maka suami berhak pisah ranjang. Terakhir, jika tetap demikian maka suami berhak memukulnya.
Pertanyaannya, mengapa hak itu tidak dimiliki seorang istri apabila sang suami tidak memenuhi hak-hak perempuan? Bukankah itu bentuk intimidasi dan ketidak adilan kepada perempuan?
Bolehnya tindakan mumukul yang menjadi tahap terakhir dalam mendidik istri apabila nusyuz, bukanlah diskriminasi pada kaum hawa, akan tetapi pada sejatinya melindungi mereka agar tidak berpilaku buruk yang melenceng pada umunya. Pumukulan yang disyaratkan tidak menyakitkan itu bukanlah mendidik pada jenis kewanitaannya, melainkan mendidik pada prilakunya yang buruk.
Apabila tindakan memukul ini dilegalkan bagi istri kepada suaminya dapat memecahkan masalah, niscaya Allah akan melegalkannya. Namun, karena Allah tahu bahwa bila seorang istri memukul kepada suaminya maka suami akan membalas dengan balasan yang lebih parah, maka hal ini tidak dilegalkan[6].
Dari uraian hikmah dan rahasia di balik disyariatkannya hukum-hukum di atas, setidaknya kita mendapatkan sebuah konklusi bahwa hukum-hukum tersebut disyariatkan secara cuma-cuma. Betapa banyak hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum Allah, sehingga sangatlah irasional jika mengklaim bahwa hukum-hukum Allah bersifat tidak adil dan diskriminatif. Hanya saja nalar dan akal kita belum bisa memahaminya secara terklasifikasi.
Terjadinya penyelewengan kewajiban-kewajiban suami memang sudah menjadi sebuah keniscayaan, seperti menyapu, memasak, dan membersihkan rumah. Namun, tidak menghilangkan nilai-nilai Islam dalam menghormati wanita. Karena hal itu sejatinya bermuara dari kesalahan dan keteledoran beberapa oknum saja. Agama Islam justru mewajibkannya perkerjaan seperti menyapu kepada sang suami. Bahkan Imam Sulaiman Al-Jamal dalam kitabnya, Hasyiyatul-Jamal, mengutip pendapat Imam Ali Syibramalisi bahwa suami wajib memberitahu pada istri bahwa hal-hal seperti itu adalah kewajibannya, bukan kewajiban sang istri[7].
Namun, kita tidak bisa menyalahkan beberapa oknum tersebut. Sebab, menurut pendapat mazhab Hanafi, pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, menyapu dll adalah kewajiban seorang istri dalam rumah tangga[8]. Sedangkan mayoritas ulama Maliki, mewajibkan beberapa pekerjaan tersebut kepada istri, jika sudah berlaku adat dan tradisi di daerah pasangan suami-istri tersebut[9].
M. Wildan Husin | Annajahsidogiri.id
[1] Hikamtut-Tasyri’ wa Falsafatuh 2/75
[2] ‘Ianathut-Thalibin 3/298
[3] Hikamtut-Tasyri’ wa Falsafatuh 2/53
[4] Yughalitunaka Id Yaqulun 98
[5] Hikamtut-Tasyri’ wa Falsafatuh 2/48
[6] Yughalitunaka Id Yaqulun 125
[7] Hasyiyatul-Jamal 4/489
[8] Durarul-Hikam Syarhu Ghuraru al-Ahkam 1/413
[9] Mausu’ah al-Fiqhiyyah 12/41