Menurut Imam as-Shakhawi, shahabat secara bahasa adalah orang yang sudah lama ber-mujalasah, mengikuti, dan mengaji kepada Nabi. Maka, jika hanya sebentar, masih tidak bisa dikatakan shahabat.
Adapun shahabat menurut ulama hadis -seperti Ibnu Shalah yang diceritakan dari Abul-Mudzaffar as-Sam’ani- adalah setiap orang yang meriwayatkan hadis atau satu kalimat dari Nabi.
Sedangkan shahabat secara syarak adalah orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan Islam dan mati juga dalam keadaan Islam, walaupun pernah murtad sebelumnya.
Dengan semua takrif di atas, membuahkan tiga pengecualian dari makna shahabat. Pertama, orang yang melihat Nabi ketika wafatnya namun masih belum dikebumikan, maka orang tersebut tidak bisa dikatakan shahabat, seperti Abi Duaib al-Hudzaly as-Sa’ir. Ia melihat Nabi namun saat beliau telah wafat. Kedua, orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan kafir, dan baru masuk Islam setelah Nabi wafat. Demikian ini seperti utusan kaisar. Ketiga, orang murtad yang tetap kafir ketika mati.
Sedangkan orang yang murtad kemudian kembali pada Agama Islam dan mati membawa keislamannya, menurut Imam al-Iraqi, permasalahan ini butuh peninjauan ulang. Karena imam Syafii dan Iman Abu Hanifah menetapkan bahwa murtad dapat menghapus sifat shahabat dari diri seseorang, seperti Qurrah bin Maisarah dan al-Asy’ats bin Qais. Beda halnya dengan Ibnu Hajar. Beliau mengatakan bahwa nama shahabat tidaklah luntur karena murtad, asalkan kembali ke Agama Islam, seperti Abdullah bin Abi Sarah.[1]
Keagungan Shahabat
Keagungan dan kemuliaan shahabat Nabi sudah mendapat rekomendasi langsung dari Allah, seperti ayat yang berbunyi:
قُلِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ وَسَلٰمٌ عَلٰى عِبَادِهِ الَّذِيْنَ اصْطَفٰىۗ ءٰۤاللّٰهُ خَيْرٌ اَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)?”. (QS. an-Naml [27]: 59)
Ibnu abbas berkata tentang ayat tersebut: “Mereka adalah para shahabat yang dipilih oleh Allah untuk Nabinya”. Ayat yang agung ini turun dari Allah dalam rangka penyaksian tentang keagungan dan keadilan para shahabat Nabi, dan ayat tersebut juga menjadi dalil yang sangat kuat tentang keadilan dan keagungan mereka. Ada lagi ayat lain yang memperkuat ayat barusan, yang berkenaan tentang shahabat Baiatur-Ridwan:
لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبًاۙ
“Sungguh, Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. al-Fath [48]: 18)
Imam Fakhruddin ar-Razi menafsiri ayat di atas seperti ini:
وَفِيهِ مَعْنى لَطِيف وَهُوَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ قَبْلَ هَذِهِ الْآيَةِ {وَمَن يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جنات } [ الفتح : 17 ] فَجَعَلَ طَاعَةَ اللَّهِ وَالرَّسُولِ عَلَامَةً لِإِدْخَالِ اللَّهِ الْجَنَّةَ فِي تِلْكَ الْآيَةِ ، وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ بَيّنَ أَنَّ طَاعَةَ اللَّهِ وَالرَّسُولِ وُجِدَتْ مِنْ أَهْلِ بَيْعَةِ الرِّضْوَانِ ، أَمَّا طَاعَةُ اللَّهِ فَالْإِشَارَةُ إلَيْهَا بِقَوْلِهِ{ لَّقَدْ رَضِيَ الله عَنِ المؤمنين } وَأَمَّا طَاعَةُ الرَّسُولِ فَبِقَوْلِهِ { إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشجرة } بَقِيَ الْمَوْعُودُ بِهِ وَهُوَ إِدْخَالُ الْجَنَّةِ أَشَارَ إِلَيْهِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { لَّقَدْ رَضِيَ الله عَنِ المؤمنين } لِأَنَّ الرِّضَا يَكُونُ مَعَهُ إِدْخَالُ الْجَنَّةِ كَمَا قَالَ تَعَالَى : { وَيُدْخِلُهُمْ جنات تَجْرِى مِن تَحْتِهَا الأنهار خالدين فِيهَا رَضِيَ الله عَنْهُمْ } [ المجادلة : 22 ]
“Pada ayat tersebut terdapat makna yang tersirat, yakni sesungguhnya Allah berkata pada ayat sebelumnya bahwa ‘Barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya maka ia akan masuk surga.’ (Dari ayat tersebut) Maka taat kepada Allah dan rasul-Nya menjadi alasan Allah memasukkan mereka ke dalam surga-Nya. Sedangkan dalam ayat ini, menjelaskan bahwa dalam diri shahabat yang mengikuti Baiatur-Ridwan ada ketaatan terhadap Allah dan rasul-Nya.
Ketaatan pada Allah termaktub dalam kandungan ayat {لَقَدْ رَضِيَ الله عَنِ المؤمنين}, sedangkan taat kepada rasul-Nya termakatub dalam ayat {إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشجرة}. Adapun jani Allah untuk memasukkan mereka kedalam surga terdapat dalam ayat {لَّقَدْ رَضِيَ الله عَنِ المؤمنين}. Karena rida Allah itu bersamaan dengan proses memasukkan ke dalam surga. Seperti dalam ayat: {وَيُدْخِلُهُمْ جنات تَجْرِى مِن تَحْتِهَا الأنهار خالدين فِيهَا رَضِيَ الله عَنهم}”
Dan dalam ayat ini, Nabi Muhammad memberikan sebuah ketegasan dengan dawuhnya:
لَايَدْخُلُ النَّارَ انْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ اصْحَابِ الشَّجَرَةِ احد الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَه
“Insyaallah, tidak akan masuk neraka dari shahabat yang membaiat Nabi di bawah pohon.”
Dan riwayat lain yang mengatakan:
لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Shahabat yang membaiat Nabi di bawah pohon pasti masuk surga.”
Jadi tak seharusnya para shahabat Nabi dicaci. Padahal sudah jelas keutamaan para shahabat sebagaimana yang telah kami tampilkan di atas. Belum lagi jika menyimak hadis Nabi berikut:
لَا تَسُبُّوا اصْحَابِي فَلَوِ انْ احْدُكُمُ انْفِقْ مِثْلَ احْدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ احْدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ (رواه البخاري)
“Janganlah kalian mencaci para shahabatku! Andaikan kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung uhud, maka hal itu tidak bisa mengimbangi sedekah yang dikeluarkan para shahabat satu mud saja atau separuhnya.” HR al-Bukhari.[3]
Keistimewaan para shahabat Nabi juga tertera dalam ayat berikut:
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ
“Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Fath [29]: 48)
Imam al-Baghawi menjelaskan dalam kitabnya, Ma’alim at-Tanzil:
- والذين معه orang yang selalu bersama nabi, kalimat tersebut mengarah kepada sahabat abu bakar, karena beliaulah yang selalu bersama nabi apalagi didalam misi nabi di dalam menyebarkan syari’at agama islam.
- اشداء على الكفار keras kepada orang kafir, sesuai dengan apa yang telah kita ketahui bahwa orang yang sangat pemberani di kalangan sahabat adalah umar bin khattab di dalam memusuhi dan memerangi orang kafir.
- رحماء بينهم belas kasih kepada orang mukmin, merupakan sifat yang tertuju kepada sayyidina utsman karena beliaulah yang sangat dermawan kepada sesama mukmin, yang tidak membiarkan orang lain menderita di bawah kecukupannya.
- ركعا سجدا selalu rukuk dan sujud, ayat ini mengarah kepada sayyidina ali, karena beliau memperbanyak sujud dan rukuk kepada Allah swt.[4]
[1] Al-Ishabah fi tamyiz as-shahabah
[2] Mafatih al-Ghaib
[3] Shahih bukhari
[4] Ma’alim at-Tanzil