Pertanyaan
Assalamualaikum, Ustaz. Kemarin saya melihat sebuah video ceramah Firanda yang mengatakan bahwa salah satu bukti Allah di atas adalah cerita Isra-Mikraj Nabi Muhammad Saw. Apakah benar demikian?
Bahrul | Via FB
Jawaban
Kaidah Dasar
Waalaikumsalam. Ketika kita membahas tentang sifat-sifat Allah, ada kaidah dasar yang harus dipegang erat-erat. Kaidah tersebut tercantum dalam surah asy-Syura ayat 11 yang berbunyi “لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ“, yakni “Tidak ada satupun yang menyamai-Nya.”
Syekh Mutawalli asy-Syakrawi dalam kitabnya, Khawathirun Imaniyyatun, mengungkapkan demikian (7/114),
عَلَيْنَا أَنْ نَأْخُذَ كُلَّ شَيْءٍ مَنْسُوْبٍ إِلَى اللّهِ فِيْ إِطَارِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Wajib bagi kita untuk mengembalikan pada ayat ‘Tidak ada satupun yang menyamai-Nya’, terhadap tiap hal yang disandarkan pada Allah.”
Nah, ketika sudah dikembalikan pada ayat tersebut, tentu tidak ada lagi celah untuk mengatakan Allah di atas. Sebab, Allah harus berbeda dengan makhluk. Jika dikatakan Allah berada di atas, maka sudah menetapkan arah bagi Allah, yang hal ini merupakan sifat makhluk.
Tentang Isra-Mikraj
Lalu, bagaimana dengan cerita Isra-Mikraj Nabi? Bukankah Nabi ke atas untuk menerima syariat salat? Berarti Allah, Sang Pemberi Syariat, ada di atas?
Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Khawatirun Imaniyatun (14/88) menjawab:
دَائِمًا نُخَاطِبُ اللّهَ عَلَى جِهَةِ الْعُلُوِّ مَعَ أَنَّهُ سُبْحَانَهُ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَلَيْسَ لَهُ مَكَانٌ لِذَلِكَ يَحْتَجُّ البَعْضُ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَيَقُوْلُ: كَيْفَ أَنَّ اللّهَ لَيْسَ لَهُ مَكَانٌ، وَسَيِّدُنَا رَسُوْلُ اللّهِ لَمَّا أَرَادَ اللّهُ أَنْ يُكَلِّمَهُ أَسْعَدَهُ إِلَى السَمَاءِ السَابِعَةِ؟ نَقُوْلُ، كَانَ السُعُوْدُ لِمَكَانِ الرَائِي لَا لِمَكَانِ المَرْئِيِّ فَالرَائِي لَا يَرَى إِلَّا مِنْ هَذَا اْلمَكَانِ فَمَثَلًا لَوْ أَنَّنَا سَمِعْنَا الآنَ ضَبْجَةً خَارِجَ اْلمَسْجِدِ وَهَذِهِ النَافِذَةُ التِيْ تَطِلُّ عَلَى هَذِهِ الضَبْجَةِ عَالِيَةٌ فَمَاذَا تَفْعَلُ إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ مَا يَدُوْرُ بِالْخَارِجِ؟ لَا بُدَّ لَكَ أَنْ تَصْعُدَ هَذَا اْلعُلُوِّ لِتَرَى مَا يَحْدَثُ فَالْأَحْدَاثُ هِيَ هِيَ لَكِنْ مَكَانُ الرَائِي يَخْتَلِفُ (خَوَاطِرٌ إِيْمَانِيَّةٌ، المجلد 14، الصحيفة 88)
“Selalu saja kita membahas tentang sifat ketinggian tampat Allah, padahal, Dia tidak butuh pada tempat. Tak heran, sebagian orang menyatakan Allah bertempat di atas dengan dalil, ‘Bagaimana mungkin Allah tak bertempat, sedangkan Allah mengangkat Nabi Muhammad saat kejadian Isra-Mikraj, menuju langit ke tujuh!’ Maka kami jawab, ‘Naiknya Nabi ke atas itu karena tempatnya (yang Allah perintah). Sebab Nabi tak dapat melihat kecuali dari tempat itu”.
Logika sederhananya begini, andai terdengar keramaian di luar masjid, sedangkan jendela masjid tempatnya tinggi, tak bisa dijangkau. Pasti kita akan naik ke atas untuk mengetahui keramaian yang terjadi di luar masjid. Kejadiannya, ya demikian itu, hanya saja tempat orang yang melihat berbeda.”
Jadi, Nabi Muhammad menaiki langit ketujuh karena itu tempat beliau (yang Allah perintah), bukan karena langit ketujuh adalah tempat Allah.
Contoh lain: Misalnya, di suatu daerah ada pameran mobil bersejarah. Di samping mobil, ada tulisan, “Pengunjung harus melihat dari jarak satu meter!”
Nah, tempat satu meter itu adalah tempat orang yang melihat, bukan tempat posisi mobil, karena posisi orang yang melihat tak harus sama dengan posisi sesuatu yang dilihat.
Ghazali | Annajahsidogiri.id