Amar makruf nahi munkar memiliki peranan penting dalam Islam sebagai upaya penegakan hukum Allah, karena tanpa amar makruf nahi munkar ada kemungkinan orang-orang akan mengabaikan syariat.
Dalam Islam tidak ada pilah pilih dalam melakukan amar makruf nahi munkar, bahkan terhadap penguasa sekalipun. Rasulullah pernah menjelaskan bahwa menyampaikan kebenaran di depan penguasa merupakan jihad yang paling utama sebagaimana sabda beliau;
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud).
hadis di atas sering disalah gunakan oleh kebanyakan orang untuk semena-mena dalam menegur pemerintah. Sering kita temukan saat demo ataupun postingan media, ucapan-ucapan yang melecehkan pemerintah dengan dalih amar makruf nahi munkar.
Padahal, meski menasehati penguasa dianjurkan dalam Islam, namun caranya berbeda sebagaimana cara anak menegur orang tuanya tentu berbeda dengan menegur temannya, karena pemerintah adalah orang tua bagi rakyat. Hal ini selaras dengan apa yang di sampaikan imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin;
وَأَمَّا الرَّعِيَّةُ مَعَ السُّلْطَانِ فَالأَ مْرُ فِيْهَا أَشَدُّ مِنَ الوَلَدِ فَلَيْسَ لَهَا مَعَهُ إِلاَّالتَّعْرِيْفِ وَالنَّصْحِ
“Etika rakyat terhadap penguasa melebihi urusan anak dengan orang tuanya. Maka wilayah rakyat terhadap penguasa hanya sekedar menyampaikan kebaikan dan menasehati.”( Ihya Ulumiddin)
Jadi rakyat tidak memiliki hak sama sekali untuk berbicara kasar apa lagi sampai melontarkan hinaan terhadap penguasa.
Rakyat hanya boleh menasehati pemerintah dengn cara halus. Hal ini senada dengan apa yang Allah perintahkan terhadap nabi Musa agar menasehati Firaun dengan ucapan yang halus sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an surah Taha;
قُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى
“maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”(QS. Taha : 44)
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya juga mengomentari ayat tersebut.
فَإِذَا كَانَ مُوْسَى أٌمِرَ بِأَنْ يَقُوْلَ لِفِرْعَوْنَ قَوْلًا لَيِّنًا فَمَنْ دُوْنَهُ أَحْرَى بِأَنْ يَقْتَدِي بِذَلِكَ فِي خِطَابِهِ وَأَمَرَهُ بِالْمَعْرُوْفِ فِي كَلَامِهِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى وَقُوْلُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Jika Nabi Musa diperintah untuk berkata lembut kepada Firaun, bagaimana dengan orang yang derajatnya lebih rendah dari Nabi Musa, tentu lebih pantas untuk meneladani beliau, yaitu dengan berbicara dan memerintah kebaikan. Allah telah berfirman, ‘bertuturkatalah yang baik kepada manusia,’ (QS. al-Baqarah : 83)”
Baca juga : Taat Pada Pemerintah
Jadi sangat tidak pantas jika rakyat sampai berbicara kasar dan melontarkan hinaan terhadap penguasa apa lagi jika itu terdengar di depan khalayak umum, karena hal tersebut tidak sesuai dengan sabda rasul yang berbunyi;
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barang siapa hendak menasihati seorang penguasa maka jangan melakukannya secara terang-terangan, namun hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menasehatinya secara pribadi. Jika ia menerima (nasihat) darinya maka itu yang diharapkan dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (HR Ahmad 14792).
Jadi tidak selayaknya bagi rakyat mencaci pemerintah, jika memang ingin menasehati atau menegur pemerintah maka cukup sampaikan saja kebenaran tersebut tanpa ada ucapan-ucapan yang merendahkan, karena tidak sepantasnya orang muslim melontarkan kata-kata kotor.
Muhammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id