AL-IMAM al-Bukhari meriwayatkan, selepas Perang Khandaq, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah saat Ashar, menyampaikan wahyu agar beliau dan kaum muslimin bergegas menuju perkampungan Yahudi Bani Quraizhah, kemudian sesegera mungkin meninggalkan Khandaq. Mendapat mandat itu, Rasulullah memerintahkan para sahabat agar segera pergi ke tempat yang dimaksud, seraya bersabda ;
اَلَالَايُصَلِّيْنَ اَحَدٌاَلْعَصْرَاِلَّافِي بَنِيْ قُرَيْظَةَ (رواه البخاري)
“Ingatlah, janganlah seorang diantara kalian melaksanakan salat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah” (HR Imam Bukhari).
Dari sabda Rasulallah, para sahabat terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memahami apa adanya, sehingga mereka melaksakan salat Ashar di kampung Quraizhah. Sedangkan sisanya tidak demikian. Bagi mereka, inti dari sabda tersebut agar segera pergi meninggalkan Khandaq. Terkait salat Ashar, bukanlah menjadi inti yang dikehendaki Rasulullah. sehingga merekapun mendirikan salat di tengah perjalanan. Saat perihal perbedaan penafsiran disampaikan kepada Rasulullah, beliau tidak menegur salah satunya.
Menurut Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, peristiwa tersebut menjadi landasan jika terjadinya perbedaan diranah furu’ (cabang syariat) adalah keniscayaan yang takdapat dihindari, dan hal tersebut mendapat legitimasi dari Rasulullah sendiri. Andai pemahaman terhadap teks syariah harus tunggal, tentu Rasulullah akan menegur serta menyalahkan salah satu dari keduanya. Tapi kenyataannya tidaklah demikian.
Keniscayaan perbedaan semakin diperkuat oleh sejumlah faktor diantaranya ; 1) perbedaan tingkat kepahaman yang dimiliki setiap orang, tak terkecuali para sahabat Nabi, 2) karakter teks-teks wahyu (al-Quran dan Hadis) yang didominasi oleh teks yang sifatnya multi-interpretasi (dzanniyud- -dalalah), 3) karakter bahasa arab, yang menjadi sarana utama wahyu, memiliki sejumlah piranti kebahasaan yang membuka peluang bagi banyak penafsiran, seperti haqiqah, majaz, musytarak dan lain sebagainya. sehingga dapat disimpulkan bahwa penafsiran menjadi sunnatullah yang pasti terjadi.
Lantas pertanyaannya, mengapa Allah – sebagai Dzat yang menurunkan wahyu menghendaki agar hukum-hukum syariah-nya bersifat luas dan terbuka untuk lebih dari satu penafsiran? Mari kita simak pernyataan salah satu ulama generasi salaf, al-Imam ‘Aun bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud sebagaimana dilansir ad-Darimi dalam Sunan-nya ; “Aku tidak suka seandainya para sahabat Rasulullah tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka semua selalu sepakat atas segala sesuatu, maka jika ada seorang beramal tidak sesuai, maka ia dianggap telah meninggalkan as-Sunahh” (Sunan Imam ad-Darimi).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata; “Aku tidak suka seandainya para Sahabat Rasulullah tidak berbeda pendapat. Sebab seandainya hanya ada satu pendapat saja, maka manusia berada dalam kesusahan”.
Dari sekian pernyataan tersebut menyiratkan beberapa hal. Pertama, perbedaan dalam memahami teks wahyu sudah terjadi bahkan diantara para sahabat Nabi. Kedua, dalam perbedaan ranah furuiyyah, masing-masing sejatinya telah mengamalkan syariat sesuai dangan hasil ijtihad yang diyakini kebenarannya. Ketiga, bahwa perbedaan adalah rahmat, karena membawa umat pada kemudahan dalam menjalankan ajaran agamanya. Inilah hikmah terbesar mengapa kebanyakan teks-teks syariat yang tertuang dalam al-Quran dan hadis dikehendaki oleh Allah bersifat dzanni.
Karena perbedaan adalah suatu yang niscaya dan pasti adanya, maka sikap kita sebagai Ahlusunah harusnya adalah saling menghargai dan tidak fanatik pada satu pendapat tertentu. Wallahu A’lam Bisshawab.
M.Ulin Nuha/AnnajahSidogiri.id