Di dalam agama Islam tersusun sebuah syariat baik berupa ‘ubûdiyyah, muamalah, teologi dan semacamnya. Salah satunya ialah wajib bagi umat Islam mengangkat pemimpin yang adil. Agar semua syariat yang telah disebutkan bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini sesuai denga apa yang disampaikan oleh Syekh Ibrahim al-Laqani dalam kitab Jauharatut-Tauḥîd yang merupakan kumpulan syair-syair bahar rajaz:
وَيَجِبُ نَصْبُ إِمَامِ الْعَدْلِ * بِالشَّرْعِ فَاعْلَمْ لَا بِحُكْمِ الْعَقْلِ
“Wajib bagi umat Islam untuk mengangkat seorang pemimpin (khalifah) yang adil. Kewajiban ini ditetapkan dengan hukum syariat bukan dengan hukum akal.”
Karena hal ini, pasca kematian Nabi Muhammad. Para sahabat sepakat untuk mengangkat pemimpin yang dapat mengatur masalah umat Islam. Pemimpin ini biasa disebut dengan khalifah. Sesuai dengan apa yang telah populer dikalangan umat Islam, bahwa urutan khalifah ialah Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, Sayyidina Umar bin al-Khattab, Sayyidina Utsman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Baca Juga: Minhatul-Hamid Syarhu Jauharatit-Tauḥîd
Disebutkan di banyak kitab sejarah bahwa, kepemimpinan Islam mencapai kejayaannya ketika masa Sayyidina Umar. Setelah kematian beliau, muncul fitnah-fitnah yang tak berujung, lebih-lebih ketika masa Sayyidina Ali. Kelompok-kelompok Islam mulai bermunculan karena faktor politik seperti Syiah dan Khawarij. Untuk lebih mengenal apa dan bagaimana peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Sayyidina Ali, kita bisa merujuk kitab yang berjudul Al-Imâm ‘Alî bin Abî Thâlib Râbi‘ul-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn karya Muhammad Ridho. Kitab ini menjelaskan bagaimana profil Sayyidina Ali, masa kepemerintahannya hingga kematiannya. Kitab dengan 304 halaman dan tujuh pembahasan pokok ini bisa untuk dijadikan sebagai rujukan agar mengetahui sejarah kepemerintahan Sayyidina Ali sesuai dengan ajaran Ahlusunah.
Dalam pembahasan pertama, Muhammad Ridho menjelaskan tentang kepribadian Sayyidina Ali, mulai dari keluarga, sifat-sifat mulia dan sesuatu yang berkaitan dengan Sayyidina Ali secara internal. Hingga sejarah awal mula beliau masuk Islam dan ketika beliau hijrah dari Mekah ke Madinah juga diuraikan dengan bagus dalam kitab ini. Di bagian akhir pembahasan pertama ini, penulis menampilkan hadis-hadis yang menceritakan tentang keutamaan Sayyidina Ali. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakim:
مَنْ أَحَبَّ عَلِيًّا فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَبْغَضَ عَلِيًّا فَقَدْ أَبْغَضَنِي
“Barangsiapa mencintai Ali, sungguh ia telah mencintaiku, dan barangsiapa membenci Ali sungguh ia telah membenciku.”
Baca Juga: Al-Madzahib at-Tauhidiyah wal-Falsafah al-Mu‘ashirah
Pada pembahasan kedua, beliau menceritakan sikap Sayyidina Ali pada periode khilafah sebelumnya. Beliau memaparkan bahwa, Sayyidina Ali juga membaiat Sayyidina Abu Bakar pada masanya. Begitu pula pada kepemimpinan Sayyidina Umar dan Utsman. Sayyidina Ali tidak ada sedikit pun niatan untuk merebutkan kepemimpinan tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh para pengikut Syiah.
Pada pembahasan ketiga, penulis menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era kepemimpinan Sayyidina Ali, seperti perselisihan yang dialami oleh Sayyidina Ali dan Muawiyah. Penulis juga menyebutkan peperangan internal yang terjadi pada waktu itu, seperti perang Jamal dan perang Shiffin. Kemudian, dalam pembahasan keempat, penulis menuturkan tentang kematian Sayyidina Ali. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa Sayyidina Ali pada suatu hari ditikam oleh Ibnu Muljam menggunakan pedang yang telah direndam racun selama 17 hari. Peristiwa penikaman ini terjadi pada tahun 40 H. Masih dalam pembahasan keempat, penulis juga menjelaskan wasiat-wasiat Sayyidina Ali sebelum beliau wafat.
Beranjak ke pembahasan kelima, di sini penulis melampirkan pembesar-pembesar sahabat yang wafat pada masa kepemerintahannya, seperti sahabat Hudzaifah bin Yaman, Zubair bin Awam, Thalhah bin Ubaidillah dan masih banyak yang lainnya. Pada pembahasan keenam, beliau menuangkan beberapa kalam yang diucapkan oleh Sayyidina Ali pada masa hidupnya, seperti doa-doa, khutbah, dan sesamanya. Lalu, pada pembahasan yang terakhir beliau melampirkan pendapat tokoh Arab dan tokoh orientalis tentang kepemimpinan Sayyidina Ali.
Semoga dengan adanya kitab ini bisa menjernihkan kita akan sejarah Sayyidina Ali yang sebenarnya. Tidak terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran aliran Syiah atau Khawarij yang dengan gampang mereka mendistorsi sejarah yang ada. Semoga kita dijauhkan dari prasangka buruk terhadap para sahabat Nabi Muhammad ﷺ. Amîn.
Deni Arisandi | Annajahsidogiri.id