Ada kelompok yang mengatakan bahwa Allah bertempat. Salah satu dalil yang mereka gunakan ialah al-Qur’an surah thaha ayat lima yang jika diartikan seecara tekstual, menunjukkan makna bersemayam bagi Allah, yang secara implisit memberikan paham tajsim bagi-Nya. Mereka juga memperkuat argumennya dengan menggunakan hadis jariyah (anggota tubuh) dan mengatakan Allah berada di langit. Hal di atas menjadikan golongan Mujassimahyang enggan dengan takwil dan tafsir semakin jemawa dengan pendapatnya. Padahal sifat bersemayam, tempat, dan arah merupakan hal yang hanya dimiliki oleh makhluk.
Di sinilah kiranya menelaah kitab-kitab Akidah menjadi penting guna memberikan pemahaman kepada umat secara benar untuk menyelamatkan mereka dari dogma sesat ayat syubhat yang erat kaitannya dengan Tuhan. Dalam hal ini, bisa kita pakai kitab karya Doktor Umar Abdullah Kamil yang berjudul, “Al-Inshâf fî mâ Utsîrâ Haulahul-Khilâf”.
Baca Juga: Di Mana Allah?
Dalam bab khusus yang membahas ayat mutasyabih, Doktor Umar Abdullah Kamil menjelaskan secara jelas terkait dua metode Ahlusunah dalam memahami ayat tersebut. Salah satu dari dua metode tersebut ialah takwil.
Imam Nawawi dalam kitab Shahih Muslim menjelaskan definisi dari metode takwil yang digunakan ulama khalaf, yaitu memindah lafaz hakiki menuju majazi kiranya menjauhkan dari pemahaman penyerupaan terhadap Allah, dengan syarat adanya dalil lain yang menguatkan makna majazi tersebut.
Misalnya dalam ayat isitiwa. Sebagian kelompok sesat memahaminya sebagai persemayaman Allah di langit. Padahal pemahaman demikian bertentangan jauh dengan ayat sarih dalam surah asy-Syura ayat sebelas, bahwa Allah berbeda dengan makhluknya.
Doktor Umar Abdullah Kamil menolak pemahaman seperti itu dengan mengutip perkataan Sayidina Ali yang menjelaskan hakikat keberadaan Allah:
كَانَ اللهُ وَلَا مَكَانٌ وَهُوَ الْأَنْ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ أَيْ بلِاَ مَكَان
“Allah ada tanpa keberadaan tempat, dan saat ini Allah tetap pada Dzat-Nya (tanpa adanya tempat).
Baca Juga: Mungkinkah Allah Dapat Dilihat?
Sebagai penambahan, Doktor Umar Abdullah Kamil juga menampilkan pendapat Imam Nuaim bin Hammad al-Khuzai terkait status kafir bagi golongan yang bersikeras menyerupakan Allah terhadap makhluk-Nya:
مَنْ شَبَّهَ اللهَ بِخَلْقِهِ فَقَدْ كَفَرَ وَمَنْ جَحَدَ مَا وَصَفَ اللهُ بِهِ نَفْسَهُ فَقَدْ كَفَرَ
“Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya maka sungguh ia telah kafir, dan barangsiapa yang mengingkari sifat yang Ia sifati untuk-Nya sendiri, maka ia juga telah kafir.”
Nah, oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui batasan-batasan yang diperbolehkan dalam memahami sifat-sifat Allah. Tentu, kitab Al-Inshâf fî mâ Utsîrâ Haulahul-Khilâf sangat cocok untuk menjadi rujukan utama dalam masalah ini.
Moh. Irvan Rizki Shafdana | Annajahsidogiri.id