Kristiani
Ada beberapa ayat dalam al-Quran yang mengindikasikan Allah itu memiliki mata. Nah, berarti Islam pun meyakini bahwa manusia adalah gambaran dari Tuhan. Sesuai keterangan dalam Bible, bahwa Yesus adalah segambar dengan Bapa Allah.
Muslim
Secara literal, dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menisbatkan kata ‘ain (mata) kepada Allah, seperti firman Allah:
وَٱصۡنَعِ ٱلۡفُلۡكَ بِأَعۡيُنِنَا. (هود: 37)
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan Kami.” (QS. Hud: 37)
وَلِتُصۡنَعَ عَلَىٰ عَيۡنِي. (طه: 39)
“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS. Thaha: 39)
Kata عين secara harfiah bermakna mata. Dalam ayat pertama menggunakan redaksi jamak (أعيننا), sedangkan dalam ayat yang kedua berbentuk kata mufrad (tunggal) yang berupa عين. Berikut akan kami jelaskan tentang bagaimana memahami kata tersebut, yang tentunya penafsiran ini dari kalangan para pakar.
Cara penakwilan terhadap ayat di atas memiliki beberapa macam versi penafsiran, dan yang jelas, tujuan ulama dalam menafsirkannya tidak lain hanya untuk mensucikan Allah dari hal-hal yang dianggap menyerupai-Nya, karena Allah berbeda dengan suatu apapun.
Untuk ayat yang pertama, kata “أعيننا” yang secara zahir berarti “beberapa mata Kami”,
- Ibnu Abbas menafsirkannya dengan “pengawasan Kami”.[1]
- Al-Hasan al-Bashri menafsirkannya dengan “penglihatan Kami”.[2]
- Ar-Rabi’ bin Anas menafsirkannya dengan “penjagaan Kami”.[3]
- Sufyan ats-Tsauri menafsirkannya dengan “perintah Kami”.[4]
Sedangkan ayat yang kedua (على عيني: QS. Thaha: 39), secara zahir artinya “di atas mata-Ku”. Ayat ini juga memiliki beberapa penafsiran dari kalangan ulama salaf,
- Ibnu Abbas menafsirkannya dengan “perintahku”.[5]
- Ad-Dhahhak menafsirkannya dengan “penjagaan dan pengawasan-Ku”.[6]
- Al-Hasan al-Bashri menafsirkannya dengan “pengeta-huan-Ku”.[7]
- Qatadah bin Du’amah dan Ma’mar bin al-Mutsanna menafsirkannya dengan “atas kecintaan dan kehen-dak-Ku”.[8]
- Ibnu al-Anbari menafsirkannya denga “atas cinta dari Ku”.[9]
- Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkannya dengan “peng-lihatan, cinta dan kehendak-Ku”.[10]
- Al-Azhari menafsirkannya dengan “kasih sayang-Ku”.[11]
Baca Juga; Allah Punya Tangan
Semua ini adalah beberapa versi penafsiran para ulama mengenai ayat di atas. Dengan ini, kita dapat memahami bahwa ulama tetap meyakini bahwa Allah Maha Melihat segala sesuatu dengan sifat bashar-Nya, bukan dengan mata sebagaimana anggota tubuh sebagaimana makhluk, seperti yang ditafsirkan oleh kelompok Kristiani.
Pendekatan literal kaum Kristiani sangatlah berbahaya dan jelas bisa merusak pengertian ayat-ayat suci al-Quran, misal ayat pertama (QS. Hud: 37). Apabila ayat pertama ini dipahami secara zhahir, maka akan menjadi “dan buatlah bahtera itu di dalam beberapa mata Kami”.
Jika demikian, maka menurut pandangan umat Kristiani, mata Allah itu banyak dan Nabi Nuh ketika membuat bahtera ada di dalam beberapa mata tersebut. Pengertian seperti ini jelas ngawur dan tidak masuk akal, tidak sesuai dengan realita di mana Nabi Nuh membuat bahtera di atas bumi.
Sedangkan ayat kedua (QS. Thaha: 39), apabila diartikan secara literal atau zahir maka akan menjadi “Dan supaya kamu diasuh di atas mata-Ku”. Jika seperti itu, berarti mereka menganggap Nabi Musa diasuh di atas mata Tuhan. Anggapan semacam ini jelas irasional, tidak sesuai dengan fakta kehidupan Nabi Musa di istana Firaun. Dengan pemahaman ini pula, nalar manusia mana saja tentu mengerti bahwa ini mengarah pada anggapan Allah itu berjasmani layaknya manusia.
- Fuad Abdul Wafi | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Qurthubi, al-Jami’ li-Ahkam al-Quran, juz 11 hal. 109
[2] Al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil wa Haqaiq al-Takwil, juz 2 hal. 322.
[3] Al-Wahidi, al-Wasith fi Tafsir al-Quran al-Majid, juz 2 hal. 572. Dan al-Qurthubi, al-Jami’ li-Ahkam al-Quran, juz 11 hal. 108.
[4] Al-Qurtubi, juz 11 hal 109.
[5] Musnad al-Rabi’ bin Habib (874).
[6] Al-Mawardi, an-Nukat wal Uyun, juz 5 hal. 387.
[7] Musnad al-Rabi’ bin Habib (874).
[8] Al-Wahidi, al-Wasith fi Tafsir al-Quran al-Majid, juz 3 hal. 206. Al- Mawardi, an-Nukat wal Uyun, juz 3 hal. 402. Dan Ma’mar, Majaz al- Quran, juz 2 hal. 19.
[9] Al-Wahidi, al-Wasith fi Tafsir al-Quran al-Majid, juz 3 hal. 206. Dan al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, juz 16 hal. 190.
[10] Ibnu Jarir, Jami’ al-Bayan, juz 16 hal. 123.
[11] Al-Azhari, Tahdzib al-Lughat, juz 3 hal. 203.