Pada dasarnya, perempuan memang diciptakan lebih lemah daripada laki-laki. Bukan karena Islam yang memandangnya lemah, namun murni fisik perempuan yang membuatnya lemah.
Hal ini bisa dibuktikan dari penelitian moderen yang menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang membuat wanita lebih lemah daripada laki-laki; biologis, fisiologis dan psikologis.
Pertama, faktor biologis. Yakni perempuan memiliki jaringan sel dan stuktur-stuktur jasmani yang berbeda dengan laki-laki. Stuktur jasmani yang ada pada wanita membuat ia berwatak lemah lembut dan penyayang. Karena memang faktor biologis yang ada pada dirinya[1].
Kedua, faktor fisiologis. Yakni perempuan tidak memiliki otot sekuat laki-laki. Pun, jantung perempuan lebih kecil dan lebih ringan daripada laki-laki rata-rata 20 gram. Begitupula pancaindera yang dimiliki perempuan lebih rendah daripada laki-laki.[2]
Ketiga, faktor psikologis. Perempuan memiliki emosi yang lebih kuat daripada lelaki[3]. Maka dari itu, nantinya dalam permasalahan penyaksian harus satu laki-laki atau dua perempuan. Sebab laki-laki lebih mementingkan akal sehingga akan berkata jujur apa adanya. Beda dengan perempuan, mereka lebih mengedepankan emosional, sehingga dibutuhkan dua perempuan dalam persaksian[4].
Karena tiga faktor di ataslah yang membuat perempuan lebih lemah. Akan tetapi, kelemahan di sini bukan kelemahan yang merendahkan martabat wanita. Melainkan kelemahan yang bersifat emosional. Sehingga perempuan lebih pantas bertugas menjadi seorang penyayang.
Faktor emosional ini nantinya menjadikan perempuan akan berperan penting dalam masa depan anak. Maka tak heran, Imam Syafii menjadi tokoh besar karena didikan ibunya yang benar-benar sangat memperhatikan sang anak[5].
Semua penjelasan di atas memberi pemahaman bahwa perempuan memang lebih pantas di rumah sebagai pendidik karena kodrat yang Allah ciptakan pada wanita sebagai makhluk yang lemah secara jasmani.
Namun meski demikian, bukan berarti suami bebas melakukan pemukulan ataupun hal terlarang apapun pada istri. Suami harus menjaga istri yang berwatak lemah. Sebaliknya, istri harus melayani suami dan menjaga martabatnya sebagai kepala keluarga[6]. Intinya, keduanya harus saling melengkapi dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing[7].
Baca Juga: Perempuan Didiskriminasi (?)
Oleh karna itu, maksud Qawwâmah (kepemimpinan) dalam surah an-Nisa ayat 34 bukanlah memimpin yang menguasai perempuan. Apalagi jika sampai dikatakan, laki-laki boleh memukul perempuan. Melainkan memimpin yang bisa menjaga perempuan[8].
Hal ini sesuai dengan dengan hadis Nabi yang berbunyi:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ … وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“ketauhilah, setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya … Kepala keluarga adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin terhadap keluarga dan anak-anaknya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya[9].
Adapun tugas perempuan di luar rumah, misalnya kerja ataupun yang lain yang cakupannya dengan sosial maka diperbolehkan dengan izin suami. Namun masalahnya, seringkali pekerjaan yang dilakukan perempuan di luar lingkup rumah tangga membuat fitnah.
Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perempuan berkenaan dengan tugas yang berada di ruang publik:
1. Perempuan boleh keluar jika ada keperluan yang mendesak. Sesuai hadis Nabi:
قَدْ أَذِنَ اللَّهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ[10]
“Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian keluar untuk memenuhi hajat kalian.”
2. Menundukkan pandangan, memelihara diri dari hal yang haram, tidak menonjolkan perhiasan dan menutup aurat. Allah berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ[11]
“Katakanlah pada wanita mukmin agar menahan pandangannya, kemaluannya dan tidak menampakkan perhiasannya. Serta agar mereka menutup dirinya dengan kain kerudung sampai dadanya.”
3. Tidak melembutkan suara sekiranya menggoda syahwat orang yang bukan muhrimnya.
اِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ[12]
“Jika engkau bertakwa maka janganlah kamu melembutkan suara dalam berbicara sehingga membangkitkan nafsu orangorang yang ada penyakit dalam hatinya. Dan berucaplah dengan ucapan yang baik.”
4. Tidak berbaur dengan selain muhrimnya.
اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ[13]
“Hendaklah kalian (perempuan) memperlambat dalam berjalan karena tidak pantas bagi kalian berdesakan dengan lelaki.”
5. Tidak memakai wewangian.
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا[14]
“Setiap mata memiliki bagian dari zina. Perempuan ketika lewat di depan perkumpulan lelaki maka dia begini dan begini (berzina).
Ghazali | Annajahsidogiri.id
[1] Ali al-Qadli, op.cit., hlm. 12-3
[2] Ibid., hlm. 20-1
[3] Ibid., hlm. 22-3
[4] Said Ramadhan al-Buthi, Yughâlithûnaka idz yaqûlûn.,
[5] https://jejakrekam.com/
[6] Said Ramadhan al-Buthi, Yughâlithûnaka idz yaqûlûn., hlm. 244
[7] DR.IR.A.M. Saefuddin, Membincang Feminisme; Diskursus Gender Prespektif Islam., hlm. 82
[8] Said Ramadhan al-Buthi, op.cit., hlm. 232
[9] HR. Bukhari. No: 6605
[10] HR. Bukhari. No: 4836
[11] QS. an-Nur: 31
[12] QS. al-Ahzab: 32
[13] HR. Abu Dawud. No: 4588
[14] HR. Turmudzi. No: 2710