Akhir-akhir ini film Bidaah menjadi perbincangan hangat di platform media sosial Nusantara. Film yang dirilis oleh produser Malaysia ini, menimbulkan banyak reaksi dari banyak kalangan terutama para netizen Indonesia. Memang pada awalnya film ini bertujuan untuk mengkritik segelintir oknum ulama yang memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadinya. Namun di saat yang bersamaan, film ini juga menampilkan amalan-amalan yang diwariskan oleh ulama kita, tapi sayangnya mereka membungkusnya dengan adegan yang sinis dan berlebihan sehingga mengubah persepsi masyarakat, terlebih lagi orang awam terhadap tradisi kita dalam bertabarruk kepada para masyayikh dan habaib.
Perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwasanya praktek-praktek seperti meminum bekas air minum kiai bahkan bekas air cuci kaki sekali pun merupakan praktek yang sudah dilakukan sejak masa ulama-ulama Nusantara zaman dahulu. Hanya saja, adegan dalam film ini lah yang membuat praktek tersebut terkesan mengerikan dan menyesatkan. Padahal pada zaman dahulu para shahabat berebutan mengambil bekas air wudhu’ Baginda Nabi Muhammad . Selain itu juga ada sebuah keterangan yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang berbunyi:
“Gelas milik Nabi pecah lalu beliau mengumpulkan dan mengikatnya dengan rantai terbuat dari perak.” Ashim berkata, “Aku melihat gelas tersebut lalu kupergunakan untuk minum”. (HR. Imam Bukhari, No. 2878).
Baca Juga: Sekte Saba’iyah: Awal Mula Ekstremisme dalam Sejarah Islam
Maka dari itu, al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim-nya (juz 2, hlm. 5) memaparkan bahwa boleh ngalap barokah (tabarruk) kepada orang-orang shaleh dengan mengambil bekas air minum dan makanan mereka, serta makan dan minum bersama mereka.
Berangkat dari keterangan di atas kita dapat mengetahui bahwa praktek ngalap barokah seperti yang dilakukan seorang santri kepada kiainya itu bukanlah tindakan yang keliru. Hanya saja, yang perlu kita cerna dari alur film Bidaah ini adalah bagaimana kita sebagai orang awam memilih orang yang pantas diambil barakahnya, dengan tanda kutip orang tersebut adalah orang yang bisa dipastikan keshalihannya. Bukan orang yang hanya penampilannya shalih tapi perilakunya thalih. Dan orang yang jelas- jelas menggunakan agama sebagai sarana untuk memenuhi hasrat nafsunya, serta memerintahkan pengikutnya berjalan menuju jembatan kemaksiatan bukanlah orang yang pantas untuk kita ikuti.
Baca Juga: Menanggapi Problematika Bidah
Nah, sekarang kita mengetahui bahwa tak semuanya orang yang berpenampilan ala kiai sufi bisa kita percayai begitu saja. Bahkan, di luar sana masih ada Walid-Walid menyesatkan orang awam yang belum kita temui. Al-Imam al-Ghazali telah memberikan peringatan kepada kita tentang adanya orang-orang seperti Walid ini dalam kitab Ihya’ Ulumuddin-nya (Juz 3, hlm. 304): “Ada di antara mereka yang nampak seperti kaum Sufi, taat beragama, dan mengucapkan kata- kata bijak hanya untuk berdakwah dan mengingatkan, namun niat mereka adalah untuk membuat wanita atau anak-anak menyayanginya untuk melakukan maksiat”.
Moh. Salman Alfarisi | Annajahsidogiri.id