Pada satu video, ada seorang tokoh Salafi-Wahabi dengan ciri-ciri berkacamata dan agak gemuk sedang menjelaskan argumennya yang menyatakan bahwa Allah ﷻ itu bertempat di atas. Pada penjelasan tersebut, seorang tokoh itu juga menyamakan dan menuduh orang-orang yang tidak meyakini Allah ﷻ berada di atas (yang dalam hal ini adalah Sunni) seperti halnya Fir’aun yang mendustakan nabi Musa. Sehingga, Fir’aun memerintah Haman (panglimanya) untuk membangun sebuah menara guna melihat tuhan nabi Musa melalui pintu-pintu langit. sebagaimana yang diterangkan dalam (QS. al-Ghafir [40]: 36-37) atau al-Qashas [28]: 38). Lantas bagaimana kita menanggapi pernyataan dan tuduhan ini?
Secara lahiriyyah, ayat tersebut memang bisa dipahami bahwa Fir’aun memerintah pada panglimanya, Haman, untuk membangun sebuah menara yang tinggi. Sehingga dari menara itu Fir’aun bisa melihat dan membuktikan keberadaan tuhan nabi Musa yang. Kemudian, sang tokoh tersebut, dengan tanpa merujuk pada kitab tafsir apapun menyimpulkan bahwa tuhannya nabi Musa berada di atas langit. Paham ini sama persis dengan keyakinan mereka (Wahabi). Sedangkan Fir’aun mendustakan keyakinan nabi Musa, dan pendustaan ini sama dengan pendustaan Aswaja pada kelompok Wahabi. Padahal tidak seperti itu!
Baca juga: PELEGALAN NIKAH MUT’AH BERBAU PROSTITUSI
Sebenarnya dalam memahami ayat tersebut tidaklah se-sederhana dan se-simpel itu. Maka di sinilah perlunya kita merujuk pada beberapa kitab yang otoritatif. Dalam menafsiri ayat ini (al-Qashas: 36), al-Imam Nawawi al-Banteni dalam karya populernya Marah Labid (hal.197/DKI) menjelaskan bahwa hal yang mendorong Fir’aun untuk membangun sebuah menara adalah klaim nabi Musa yang mensifati tuhannya dengan mengatakan:
رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ
“Tuhan langit dan bumi” (QS. as-Syuara [26]: 24).
Sehingga dari penjelasan nabi Musa tersebut, Fir’aun salah memahami dan menyangka bahwa nabi Musa mengatakan Tuhannya (Allah) berada di atas langit.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa nabi Musa tidak pernah mengatakan bahwa Allah ﷻ berada di atas langit. Hanya saja Fir’aun yang salah memahaminya. Maka, tokoh tersebut yang tadinya menstatuskan golongan yang tidak meyakini keberadaan Allah ﷻ berada di atas langit sebagaimana fir’aun adalah tidak dapat dibenarkan oleh ajaran Ahlussunnah.
Baca juga: Kemustahilan bagi para Rasul
Sebab, golongan yang tidak mengatakan Allah ﷻ berada di atas langit (Sunni) adalah dengan dasar bahwa Allah ﷻ memang tidak bertempat, atau yang lebih kita kenal dengan istilah Mukhalafatul lil-Hawadis (berbeda dengan makhluknya). Sedangkan pendustaan Fir’aun adalah atas dasar bahwa Fir’aun memang tidak mempercayai Tuhan selain dirinya. Wallahu A’lam bis-Shawab.
Moch Rizky Febriansyah | Annajahsidogiri.id