Belakangan ini kita sering mendengar istilah “Singa Aswaja”. Umumnya istilah itu dialamatkan kepada orang yang menonjol dalam penguasaan ilmu akidah (ilmu kalam, atau ilmu tauhid, atau ilmu ushuluddin) dan sering tampil di permukaan, baik untuk melayani debat dengan golongan di luar Aswaja maupun sekadar mengisi kajian atau diskusi seputar akidah.
Bagi penulis, menyematkan julukan itu kepada seorang ahli akidah Aswaja tidak masalah, kendati Aswaja itu sendiri tidak melulu soal akidah, karena di samping itu masih ada syariat dan akhlak. Hal demikian karena akidah adalah aspek yang paling mendasar, yang di atasnya dibangun syariat dan akhlak. Barangkali itulah sebabnya kenapa al-Imam az-Zabidi mengatakan, “Jika kata ‘Aswaja’ dimutlakkan, maka maksudnya adalah Asyairah dan Maturidiah”. Sedangkan kita tahu kedua imam tersebut adalah perumus akidah Aswaja.
Adapun fungsi dan tugas dari Singa Aswaja, sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Gazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin, adalah sebagai penjaga akidah umat Islam dari gangguan pemikiran para ahli bidah. Sebab umat Islam, disamping harus memeluk akidah yang sahih, juga diharuskan menjaga kemurnian akidah itu dari cipratan kotoran-kotoran pemikiran ahli bidah, sehingga misalnya seseorang tertimpa keraguan dalam salah satu aspek akidah yang wajib diimani, maka ia berkewajiban mempelajari sesuatu yang bisa menghilangkan keraguan itu dari dalam hatinya.
Menurut al-Gazali, ilmu kalam yang isinya telah melebar melampaui materi-materi akidah yang dijabarkan di dalam al-Quran dan hadis, seperti mendebat para pemikir dari sekte-sekte sesat, atau bahkan masuk pada teori-teori filsafat yang tidak dibahas pada zaman awal Islam, semuanya adalah bidah belaka, yang hukumnya tentu dilarang. Namun hukum mempelajari ilmu kalam itu kini sudah berubah menjadi fardu kifayah (kewajiban kolektif), disebabkan banyak bermunculan pemikiran sesat yang memalingkan umat dari akidah al-Quran dan hadis, serta menjamurnya aliran-aliran sesat yang membahayakan akidah umat.
Baca Juga; Tahapan Penanaman dan Pemantapan Akidah (1/3)
Dengan demikian, orang yang ahli ilmu kalam, atau pakar ilmu akidah, atau yang disebut Singa Aswaja, tugas dan fungsinya adalah menjaga akidah umat dari rongrongan pemikiran sesat di sekitar mereka. Al-Gazali mengibaratkan fungsi Singa Aswaja itu seperti bodyguard yang melindungi para jamaah haji di tengah-tengah perjalanan mereka dari para perampok. Kehadiran para bodyguard itu disyaratkan karena masih ada bandit-bandit tengil di jalanan menuju Mekah. Jika seandainya rute haji dari berbagai penjuru sudah steril dari para pengganggu, maka keberadaan para bodyguard sudah tidak relevan dan tidak diperlukan lagi.
Terakhir, al-Gazali mewarning para Singa Aswaja, bahwa jangan sampai aktivitas mereka berhenti sekadar menjadi bodyguard belaka, dan tidak sekalian ikut menunaikan haji bersama para jamaah; jangan sampai hanya sebatas menjadi penjaga akidah belaka yang kerjanya hanya berdebat, tanpa berusaha menguatkan akidahnya sendiri dengan cara mujahadah; meniti jalan menuju ridha Allah.
Jika demikian yang terjadi, maka hakikatnya akidah Si Singa Aswaja itu tidak ada bedanya dengan kalangan awam. Kelebihannya hanya terletak pada pengetahuan ilmu kalam dan kepandaian berdebat belaka, di mana ilmu kalam falsafi dan berdebat itu lebih berpotensi mengombang-ambingkan akidah alih-alih memperkuat dan memantapkannya. Memperkuat dan memantapkan akidah hanya bisa dilakukan dengan cara mujahadah, sebagaimana telah penulis jelaskan pada tulisan berjudul Tahapan Penanaman dan Pemantapan Akidah (tulisan kedua dan ketiga).
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri