Indonesia merdeka melalui pekikan takbir Bung Tomo dan serentak kaum santri yang bergerak atas fatwa jihad Kiai Hasyim Asy’ari. Hubbul Wathan Minal Iman menjadi jargon yang memotivasi tekad mereka hingga nyaris membulat tak terbendung. Hal itu mengantarkan masyarakat Indonesia untuk berkesimpulan bahwa nasionalisme dan ghirah agama nyaris menjadi satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya tidak boleh dibentur-bentukan sehingga terjadi ketimpangan sebelah dalam menilai keduanya. Berpegang teguh kepada agama bukan berarti berlepas diri dari cinta negara, selama memahami agama dengan benar dan tidak cenderung radikal, bukan malah benci arab. Sebab agama Islam-lah yang justru menganjurkan agar menaati segala sistem kenegaraan dan berbangga atas kebudayaan negara, selagi tidak bertentangan dengan agama.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’ [3]: 59)
Tidak dipungkiri bahwa paham liberalisme telah mewabah ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Sejak masuknya paham-paham liberalisme ke Indonesia banyak pemikiran-pemikiran ‘ilegal’ yang berupaya menjauhkan masyarakat kita dari agama dengan mengatasnamakan nasionalisme. Mereka melakukan hal itu dengan membenturkan unsur agama dengan nasionalisme, lalu mengenyampingkan agama dan memprioritaskan nasionalisme. Hal itu banyak kita saksikan dari pernyataan mereka terkait kebudayaan, misalnya.
Baca Juga: Kondisi Jazirah Arab Masa Pra-Islam (1)
Narasi kaum liberalis dapat kita baca dari berbagai propaganda mereka dalam menipu publik untuk menjauhkan agama dengan mengatasnamakan cinta negara. Pada tahun lalu, pernyataan Sukmawati menuai pro-kontra dan meledakkan hujatan dari berbagai kalangan. Melalui puisinya itu, Sukmawati mengatakan bahwa sari konde jauh lebih indah dari pada cadar. Kidung jauh lebih merdu dari suara adzan. Lalu pada dewasa ini, sukmawati lagi-lagi mengeluarkan pernyataan kontroversinya dengan mengatakan “Siapa yang berjuang di abad ke-20 dalam memerdekan Indonesia. Nabi yang mulia Muhammad atau Ir.Soekarno?” Bisa kita simpulkan bahwa perkataan tersebut mempropagandakan semua orang agar benci Arab.
Pada pekan lalu, Menteri Agama (Menag) melarang para pegawai instansi negara menggunakan cadar dan menggunakan celana cingkrang, dengan alasan sebagai sikap antipati terhadap Islam radikal. Belum lagi Islam Nusantara yang lagi ngetren diusung oleh sebagian warga Nahdliyin pada muktamar NU tahun lalu. Islam Nusantara yang dimaksudkan adalah sebagai bentuk paham yang memproritaskan budaya lokal dari budaya Arab yang sebenarnya masih bagian dari syariat. Paham ini memiliki pola pikir terbalik, yakni menusantarakan Islam, bukan mengislamkan nusantara seperti yang telah diperjuangkan Wali Songo.
Di samping itu, mereka menggiring opini publik untuk berkesimpulan bahwa umat Islam saat ini tengah tersesat sebab tidak bisa membedakan antara Islam dan budaya Arab. Mereka berasumsi bahwa cadar adalah budaya Arab, al-Quran adalah produk budaya, berjenggot hanya budaya arab dan seterusnya. Sebagaimana dilansir dari Tempo (2008), Prof. Nasaruddin Umar seorang cendekiawan muslim yang dikenal sebagai pejuang kesetaraan gender mengatakan:
“Ada perbedaan persepsi tentang ajaran islam dengan budaya Arab. Persepsi Islam yang dipahami di Indonesia sesungguhnya bukan persepsi Islam. Di Indonesia, orang tak bisa memilah mana budaya Arab, mana yang Islam, karena sama-sama berbahasa Arab.”
Tanggapan:
Perlu kita ketahui bahwa iman dalam hati kita memiliki banyak konsekuensi. Beriman kepada Allah SWT meniscayakan kita untuk tunduk kepada segala aturan Allah SWT, dan tumbuhnya rasa ingkar dalam hati terhadap segala perkara yang dilarang-Nya. Beriman kepada Rasulullah menjadikan kita berpegang teguh akan sunnah-sunnah Rasulullah, menghadirkan segala keteladanan Rasulullah dalam segala aktifitas kita dan menjadikan beliau manusia nomor wahid dalam hati kita. Rasulullah SAW berpesan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ – متفق عليه
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya” (Muttafaq Alaih)
Kita semua tahu bahwa Rasulullah SAW, putra sayid Abdullah dan cucu sayid Abdul Muthalib merupakan keturunan orang Arab. Jika kita bisa melihat silsilah nasab beliau yang semua berasal dari kaum arab, apakah kita masih bisa benci arab?
Bersambung….
Penulis: Bachrul Widad | Aktivis ACS Semester II kontra Wahabi