Belakangan ini kerap bermunculan doktrin-doktrin tasawuf abal-abal. Dalam ceramahnya, tidak jarang memunculkan berbagai istilah yang aneh-aneh dan tak sedikit masyarakat menilainya nyeleneh. Pro-kontra pun terjadi. Di satu sisi masyarakat membela mati-matian si paling mursyid tersebut. Di lain sisi, masyarakat mengecamnya. Lantas bagaimana langkah yang tepat untuk menyikapinya?
Sebenarnya, dalam beberapa kitab sudah dijelaskan tentang kriteria mursyid. Salah-satunya dalam kitab Khazinatul-Asrar (hlm. 196) di sana terdapat beberapa tanda-tanda yang menunjukkan orang itu sebagai mursyid. Dengan mengetahui kriteria tersebut, Anda tidak perlu kebingungan memilah dan memilih mursyid yang tepat.
Pertama, seorang mursyid tersebut memiliki dan mengikuti guru yang bersambung hingga kepada Rasulullah. Sayyid Muhammad Haqqi an-Nazili mengungkapkan dalam kitab tersebut sebagaimana berikut:
وَشُرُوطُ الشَّيْخِ الَّذِي يَصْلُحُ أَنْ يَكُونَ نَائِبًا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لِشَيْخٍ بَصِيرٍ يَتَسَلَّلُ إِلَى سَيِّدِ الْكَوْنَيْنِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Syarat guru yang layak menjadi pengganti Rasulullah ialah ia harus mengikuti guru yang bersambung kepada Rasulullah.”
Syarat ini tentu menjadi syarat pokok, sebab bagaimana mungkin ia mengaku sebagai seorang guru pengganti Rasulullah, jika ia sama-sekali tidak memiliki guru yang jelas mempunyai sanad bersambung kepada Rasulullah.
Kedua, seorang mursyid harus alim. Alasannya telah dijelaskan dalam kitab yang sama sebagaimana berikut:
وَأَنْ يَكُونَ عَالِمًا لِأَنَّ الْجَاهِلَ لَا يَصْلُحُ لِلِارْشَادِ
“Seorang syekh juga harus alim, karena orang bodoh tidak bisa untuk menuntun.”
Ketiga, seorang mursyid harus memiliki sifat-sifat baik, mulai dari tidak cinta harta, ahli tirakat, hingga memiliki kepribadian yang baik. Masih dalam kitab yang sama terdapat penjelasan sebagaimana berikut:
وَأَنْ يَكُونَ مُعْرِضاً عَنْ حُبِّ الدُّنْيَا وَحُبِّ الْجَاهِ وَيَكُونَ مُحْسِنًا لِرِيَاضَةِ نَفْسِهِ مِنْ قِلَّةِ الأَكْلِ وَ النَّوْمِ وَالْقَوْلِ وَكَثْرَةِ الصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ وَالصَّوْمِ وَمُتَّصِفًا بِمَحَاسِنِ الأَخْلَاقِ كَالصَّبْرِ وَالشُّكْرِ وَالتَّوَكُّلِ وَالْيَقِينِ وَالسَّخَاوَةِ وَالْقَنَاعَةِ وَالْحِلْمِ وَالتَّوَاضُعِ وَالصِّدْقِ وَالْحَيَاءِ وَالْوَفَاءِ وَالْوَقَارِ وَالسُّكُونِ وَأَمْثَلِهَا
“Seorang guru juga selayanya tidak mencintai harta dan pangkat, hobi tirakat seperti sedikit makan, tidur, berbicara, serta banyak salat sedekah puasa, serta seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik, seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, murah hati, menerima, hilim, tawadu, jujur, rendah hati, wafa’, waqar, dan tenang, dan sesamanya.”
Kita memang sulit untuk menemukan orang yang memenuhi kriteria tersebut. Karena seorang guru kepada muridnya berposisi seperti nabi kepada umatnya. Hal ini selaras dengan yang disebutkan dalam kitab tersebut yang berbunyi:
الشَّيْخُ نُورٌ مِنْ أَنْوَارِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَصْلُحُ لِلْإِقْتِدَاءِ بِهِ وَ لَكِنَّ وُجُودَهُ نَادِرًا
“Guru merupakan cahaya dari sekian banyak cahaya nabi, yang mana guru tersebut patut untuk diikuti. Akan tetapi, keberadaannya sangat jarang sekali.”
Akhiran, dari beberapa kriteria di atas sangat jelas bahwa yang patut dijadikan mursyid adalah orang yang memang benar-benar baik. Anehnya, masyarakat awam memiliki kaidah sebaliknya: semakin nyeleneh seseorang, semakin mantab kalau orang tersebut merupakan mursyid. Kaidah semacam itu tentu sangat berlawanan dengan tradisi salaf, yang sangat ketat dalam memilih seseorang menjadi mursyid.
Muhammad ibnu Romli | AnnajahSidogiri.ID