Akidah kita berbeda dengan Wahabi dari beberapa sisi. Dalam masalah Tauhid Wahabi membaginya menjadi tiga: Uluhiyah, Rububiyah, Asma’ wa Sifat. Menurut mereka seorang muslim tidak cukup hanya bertauhid Rububiyah (meyakini bahwa Allah adalah dzat yang mengatur, pencipta, dan yang berkuasa) saja, akan tetapi harus juga bertauhid Uluhiyah (Allah adalah satu-satunya Dzat yang patut disembah).
Dengan membedakan makna Ilah dan Rabb mereka berpendapat bahwa kebanyakan umat Islam sekarang syirik, karena hanya bertauhid Rububiyah dan tidak bertauhid Uluhiyah dalam beberapa praktik, seperti ziarah kubur, tabarruk, dan mambaca Maulid Nabi e. Sehingga akibat dari pembagian tauhid ini, mereka menghalalkan darah sesama muslim seperti yang dikatakan pendiri aliran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab Majmu’âtu at-Tauhîd, dan terjadilah peristiwa berdarah seperti awal-awal munculnya Wahabi di Hijaz.
Baca Juga: Kontroversi Shalawat Nariyah
Padahal jika dirujuk kembali, lafadz Ilah dan Rabb adalah lafadz yang mutaradif (kalimat yang maknanya sama), di satu ayat menggunakan lafadz Ilah dan di ayat yang lain menggunakan lafadz Rabb. Dengan artian orang yang sudah bertauhid Uluhiyah otomatis bertauhid Rububiyah, begitupun sebaliknya.
Sedangkan dalam masalah furu’ agama, meskipun mereka menolak untuk bermadzhab dan menuduh kita yang bermadzhab Syafi’iyah dengan taklid buta kepada Imam Syafi’i. Mereka sendiri malah bertaklid kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan Syekh Ibnu Taimiyah. Mereka mengambil pendapat keduanya hanya jika pendapat beliau cocok dan bisa menguatkan terhadap doktrin mereka, dan meninggalkan pendapat keduanya yang merugikan kepada mereka.
Baca Juga: Majelis Sholawat, Bid’ahkah?
Adapun hukum bermakmum pada firqah lain, seperti Wahabi, Syi’ah dan lain-lain. Ada beberapa ketentuan hukum;
- Firqah yang sampai pada taraf kafir: tidak sah bagi kita untuk makmum dibelakangnya.
- Firqah yang tidak sampai pada taraf kafir: jika dalam shalatnya terdapat suatu hal yang menurut i’tikad si makmum dapat membatalkan shalat, maka tidak sah bermakmum di belakangnya. Misalnya; imam yang bermadzhab Hanafiyah dan menyentuh kemaluannya sebelum shalat sedangkan makmumnya Syafi’iyah. Atau imam yang mempunyai ritual gerakan-gerakan yang dapat membatalkan shalat.
Sedangkan jika dalam shalatnya tidak terdapat suatu hal yang menurut i’tikad si makmum dapat membatalkan shalat, maka sah bermakmum di belakangnya. Begitu juga jika ragu apakah imam (yang beda madzhab dengan makmum) melakukan pekerjaan wajib atau tidak, maka hendaknya makmum berhusnudzan (baik sangka), selama belum jelas bahwa imam tersebut benar-benar meninggalkan pekerjaan wajib tersebut secara sengaja.
Referensi :
Bughyatul-Mustarsyidîn hal. 10
Hasyiah al-Jamal juz. 1 hal. 521
Fathu al-Mu’în hl. 38