Sebelum kita membahas mengenai hukum menghormati bendera merah putih, kiranya kita perlu mengetahui terlebih dahulu, apa perlunya kita menghormati sang saka merah putih?
Menjunjung tinggi rasa nasionalisme dalam tubuh bangsa memang harus diteriakkan selantang-lantangnya. Hal ini bukan hanya sekadar untuk mengunggulkan bangsa sendiri dari bangsa yang lain, atau satu ras suku dari yang lain, melainkan juga untuk membakar nyala spirit pada setiap anak bangsa, agar mereka semua bangga dan tidak malu ketika ditanya perihal bangsanya. Karena pada dasarnya, rasa nasionalisme dalam suatu bangsa ibarat akar dalam rumpun pohon, jika akarnya sudah tidak kuat atau malah rapuh, maka jangankan untuk berbuah, menahan batangnya saja sudah bisa dipastikan akan roboh dan runtuh.
Dari itu, tak ayal Syekh Mustafa al-Ghalayaini meluncurkan formulasi perspektifnya, bahwa hal yang paling dan sangat beliau takjubi adalah ketika dapat melihat suatu bangsa yang disesaki dengan rasa nasionalisme yang tinggi dari segenap anak bangsanya. Penganalogian beliau dalam hal ini bukan isapan jempol belaka, juga bukan asal ceplas-ceplos nyerocos tanpa ada dasar yang melatar-belakangi teras problematika yang ada. Tersebab beliau nyaris, bahkan tidak pernah mencetuskan suatu perpektif tanpa adanya argumen valid yang bisa dipercaya, karena sebelum berpendapat, beliau telah lebih dulu mengkaji dan menelaah suatu permasalahan dari ujung pangkalnya.
Jauh sebelum kitab ‘Idzatun Nasyiin’ dituliskan dalam satu naskah manuskrip, sang reformis dunia telah berulangkali mewanti-wanti kepada umatnya agar senantiasa ‘menunaskan’ rasa cinta yang tak henti-hentinya pada tanah tumpah darahnya, senantiasa memupuk diri dangan menabungkan dogma cinta pada tanah airnya, bukan malah ciut kabur tidak memikirkan bangsanya, atau mungkin cuwek-bebek seakan tidak peduli. Karena nasib suatu bangsa ke depannya terletak pada kepakan sayap nasionalisme. Artinya, semakin kuat kepakan sayap tersebut, maka semakin tinggi pula nasib suatu bangsa. Demikian ini setali dengan maqolah ulama sebagai berikut;
حُبّ ُالوَطَنِ مِنَ الِايْما
“Cinta tanah air merupakan sebagian dari iman.”
Namun polemik yang paling patut digoreng-matang dalam hal ini adalah, apakah kita boleh “over nasionalisme” atau bahasa gampangnya, bolehkah kita menjunjung tinggi rasa nasionalisme itu dengan cara yang berlebihan? Sebagai gambaran, hormat pada sang bendera merah putih. Lantas jika demikian, apakah masih dikatakan wajar utamanya bagi umat Islam yang menganut paham tauhid, di mana pada problem tersebut kita seolah diajak untuk ikut menghormat-tadzim pada selain Allah SWT, sementara yang sudah kita ketahui, hati dan badan kita harus tetap manyatu kepada Allah SWT saja, tidak boleh yang lain. Maka, jawaban yang paling bijak mengenai polemik ini adalah senada dengan ibarat kitab at-Tahliyah wa at-Targhib (hal. 33). Di dalam kitab tersebut diterangkan, bahwa kita boleh-boleh saja menghormat pada Sang Bendera, dalam arti mengingat setiap cucuran keringat para Syuhada yang tumpah-jerih membela dan merebut kemerdekaan bangsanya, namun dengan syarat, orang yang melakukan hal itu tidak sampai menduakan Allah SWT. dengan maksud, ia tetap percaya seutuhnya, bahwa yang paling berhak dihormat dan disembah adalah Allah Sang Maha Esa.
Ulin Nuha|AnnajahSidogiri.id